Perang Perebutan Energi Bakal Meletus di Indonesia? (Bagian Ketiga)


Presiden Joko Widodo (berjas hitam) melakukan inspeksi pasukan saat upacara Peringatan HUT ke-70 TNI di Dermaga Indah Kiat, Merak, Cilegon, Banten, Senin (5/10). (Foto Antara/Yudhi Mahatma)
MerahPutih Peristiwa - Dalam sebuah simposium nasional yang dihelat di Universitas Indonesia pada Kamis 15 Oktober 2015, Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Kebudayaan Indonesia, Susanto Zuhdi memaparkan definisi Proxy War. Pemaparan dimulai dari aspek historis hingga kaitannya dengan dunia kekinian.
Dosen di Universitas Pertahanan dalam prodi Strategi Perang Semesta ini menjelaskan ditinjau dari aspek sejarah, Indonesia sudah menjadi tempat berperangnya kekuatan-kekuatan adidaya. Wilayah Indonesia dikenal juga sebagai kawasan Terra Belica, yaitu tempat peperangan yang dilakukan pihak lain.
"Perspektif yang dimaksud adalah dialog kita dengan masa lampau dalam menjawab isu aktual," katanya dalam simposim nasional yang diselenggarakan oleh Pusat Teritorial Angkatan Darat dengan Universitas Indonesia.
Mantan staf ahli Menteri Pertahanan bidang politik itu menambahkan sejak abad ke-16 wilayah Indonesia yang dahulu dikenal dengan nama Nusantara sudah menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa sebut saja Belanda, Inggris, dan Portugis. Kedatangan mereka dikarenakan kekayaan sumber daya alam dan rempah-rempah Indonesia.
Begitu tiba di kepulauann Nusantara, bangsa-bangsa Eropa lantas membuat perusahaan dagang yang disertai dengan bala tentara dan kekuatan militer. Portugis membentuk kongsi dagang dengan nama Estado da India, Belanda membentuk kongsi dagang dengan sebutan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dan Inggris membuat kongsi dagang dengan nama East India Company.
"Mereka adalah kekuatan-kekuatan yang berkonflik saat itu di Nusantara," ucap pengajar yang mendapatkan penghargaan Dharma Pertahanan dari Menteri Pertahanan.
Penulis buku Nasionalisme, Laut, dan Sejarah ini melanjutkan perang yang terjadi saat itu lebih mengedepankan pertempuan fisik dan kekuatan senjata. Cara lain yang digunakan bangsa Eropa untuk menundukkan Kepulauan Nusantara adalah dengan memihak kepada salah satu kubu Kerajaan yang tengah dilanda konflik internal.
Pola persekutuan yang dibangun misalnya VOC menjalin kemitraan dengan Bone dan Buton dalam menghadapi kekuatan Kerajaan Gowa. Pola serupa juga digunakan VOC dalam menghadapi konflik internal Mataram. Saat itu VOC menyokong Trunojoyo untuk meruntuhkan kekuatan Mataram.
"Kedua pola itu terus berlangsung hingga abad 17 dan 18," paparnya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan laju informasi yang demikian pesat, karakteristik perang mengalami perubahan. Saat ini, perang antarnegara atau kekuatan adidaya tidak lagi menggunakan senjata, pengerahan pasukan ataupun konfrontasi secara langsung.
Pasca berakhirnya perang dingin, perang yang terjadi adalah Perang Proxy. Jenis perang ini banyak terjadi di negara-negara Asia-Afrika yang belum lama bebas dari penjajahan.
"Suatu perang yang dilakukan kekuatan besar dengan tidak melibatkan dirinya, melainkan dengan menggunakan pihak ketiga," papar penulis dan editor "Indonesia Dalam Arus Sejarah" itu.
Ia melanjutkan, salah satu contoh Proxy War yang paling nyata adalah pemutarbalikan opini atau rekayasa pemutarbalikan sejarah bangsa. Pada tahun 2004 ketika kurikulum nasional digulirkan timbul persoalan serius yang hampir memicu terjadinya konflik antarsesama anak bangsa.
Salah satu poin penting yang hampir menyebabkan terjadinya konflik adalah tidak dimuatnya materi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 di Madiun, Jawa Timur dan tidak dicantumkan kata "PKI" dalam Gerakan 30 September 1965.
"Apakah ini sebuah kebetulan," tanya Susato Zuhdi.
Di sudut lain Letnan Jenderal TNI (Purn) Suryo Prabowo dalam bukunya berjudul "Komando Teritorial" membebarkan bahwa potensi terjadinya Proxy War bisa dilakukan oleh kekuatan asing dengan menunggangi konflik yang terjadi antara pemerintah pusat dengan daerah.
"Bukankah ini sebagai isu kerawanan," tulisnya dalam buku tersebut.
Lantas bagaimana cara menghadapi ancaman Proxy War?
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam bukunya berjudul "Memahami Ancaman, Menyadari Jatidiri Modal Membangun Menuju Indonesia Emas" memaparkan beberapa solusi.
Menurutnya Proxy War dapat dihindari, jika TNI dan rakyat memiliki cara pandang yang sama untuk mempertahankan negara dan mewujudkan kemakmuran. Bukti sejarah bersatunya TNI dan rakyat terjadi pada saat revolusi fisik di awal kemerdekaan dalam menghadapi kekuatab kolonial.
"Selain itu kita harus back to nature atau kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia," tulisnya dalam buku tersebut.
Mantan KSAD itu pun mengakui masih ada pihak-pihak yang mencoba memancing keributan yang mengarah pada terjadinya instabilitas politik dan ekonomi. Untuk mencegah terjadinya letupan-letupan di berbagai daerah, semua komponen bangsa harus membekali diri dengan pengetahuan cukup dan wawasan luas.
"Karakter individu kuat dengan wawasan kebangsaan diyakini bisa menangkal Proxy War di Indonesia," demikian Panglima TNI. (Bhd)
BACA JUGA:
- Kelangkaan Energi dan Konflik Antar-Negara (Bagian Kedua)
- Kenali Tiga Tipe Perang Modern (Bagian Pertama)
- 12 Perwira Tinggi TNI Naik Pangkat
- Intip Atraksi Ribuan Personel TNI AD Peragakan Beladiri Yongmoodo
- Jenderal Gatot Nurmantyo: Panglima TNI Pertama Seorang Santri