Penghapusan Hak Politik Eks HTI dan FPI Dinilai Bentuk Langkah Tegas Negara


Petugas membongkar atribut-atribut saat melakukan penutupan markas DPP Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta, Rabu (30/12/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nz
MerahPutih.com - Hak politik eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) tengah dibahas dalam Draf Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada (RUU Pemilu).
Direktur Eksekutif Indonesia Publik Institut (IPI), Karyono Wibowo menilai, penghapusan hak elektoral eks HTI dan FPI dalam draf RUU Pemilu tersebut dilandasi oleh keputusan hukum.
Baca Juga
Polisi Diminta Telusuri Motif di Balik Aliran Dana Asing ke Rekening FPI
Dua organisasi kemasyarakatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan undang-undang. Ormas HTI secara sah dibubarkan oleh negara berdasarkan putusan pengadilan yang sudah inkrah (inkracht).
"Sementara larangan melakukan kegiatan dengan menggunakan simbol-simbol dan atribut FPI dinyatakan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 instansi lembaga negara," tuturnya kepada wartawan, Kamis (28/1).
Menurut Karyono, Ormas HTI dibubarkan oleh pengadilan karena dinilai tidak menjalankan asas, ciri dan sifat ormas yang termaktub dalam Undang-undang keormasan, yaitu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

HTI dianggap terbukti mendakwahkan doktrin negara berbasis kekhilafahan kepada para pengikutnya. Sementara, dalam AD/ART FPI juga tidak mencantumkan Pancasila sebagai azas organisasi.
Meskipun FPI selalu mengklaim sebagai ormas Pancasilais. Tapi, tindakan dan perbuatannya dinilai tidak mencerminkan nilai-nilai dan sifat ormas sebagaimana diatur dalam UU 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi UU.
"Belum lagi adanya dugaan keterlibatan sejumlah anggota FPI yang mendukung terorisme," ungkap Karyono.
Dengan demikian, lanjut Karyono, Draf Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada (RUU Pemilu) yang menghapus hak untuk dipilih bagi anggota HTI dan FPI bukan berarti diskriminasi.
Melainkan menunjukkan konsistensi negara dalam menjalankan perintah konsitusi. "Jika PKI dan seluruh underbownya dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan kehilangan hak politik untuk dipilih, maka negara juga harus berlaku adil," jelasnya.
Di sisi lain, masalah perbedaan terhadap Draf RUU Pemilu ini menurutnya masih hal lumrah. Perbedaan pendapat juga dijamin oleh konstitusi.
"Perbedaan tafsir sudah biasa. Jika tidak sepakat terhadap suatu peraturan bisa diselesaikan di pengadilan. Ini negara demokrasi yang berdasarkan hukum," jelas Karyono.
DPR bakal membahas hak politik mantan anggota Front Pembela Islam (FPI) dalam revisi undang-undang pemilu (RUU Pemilu). Eks FPI belum tentu dilarang menjadi peserta pemilu dan pilkada seperti eks HTI dan PKI.
Sebelumnya, draf revisi UU Pemilu sudah mengatur larangan eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Partai Komunis Indonesia menjadi calon presiden-wakil presiden, kepala daerah, anggota DPR, DPRD dan DPD.
Diketahui, draf RUU Pemilu yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas DPR tahun 2021 mengatur larangan bagi eks anggota HTI menjadi calon peserta pileg, pilpres, dan pilkada.
Aturan itu kini ditulis secara gamblang atau tersurat seperti seperti larangan bekas eks Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilarang berpartisipasi sebagai peserta pemilu. Selama ini, larangan bagi eks HTI tak pernah ditulis secara tersurat dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.
Merujuk Pasal 182 Ayat (2) huruf jj dalam draf revisi UU Pemilu , diatur persyaratan pencalonan bagi peserta pemilu bukan bekas anggota HTI.
Selain itu, pada Pasal 311, Pasal 349 dan Pasal 357 draf revisi UU Pemilu juga mewajibkan para calon presiden dan calon kepala daerah wajib melampirkan persyaratan administrasi berupa surat keterangan dari pihak kepolisian sebagai bukti tak terlibat organisasi HTI.
"Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dari kepolisian," bunyi pasal tersebut.
FPI pun sudah ditetapkan pemerintah sebagai organisasi terlarang. Penetapan itu dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri dan lembaga dengan Nomor 220/4780 Tahun 2020, Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII Tahun 2020, dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI. (Knu)
Baca Juga
BEM SI Desak Komjen Listyo Usut Kasus Dugaan Pelanggaran HAM dan Penembakan Laskar FPI