Korupsi e-KTP, Mantan Menteri Era SBY Ini Terima USD4,5 Juta dan Rp50 Juta


Perekaman e-KTP di Banda Aceh. (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)
Irman dan Sugiharto selaku mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) yangmerugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Selain memperkaya diri sendiri, bekas dua pejabat ini juga memperkaya sejumlah pihak dalam skandal megakorupsi e-KTP ini, termasuk Gamawan Fauzi, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan peran mantan menteri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dalam proyek e-KTP yang menelan dana hingga Rp5,9 triliun. Kini, kasus korupsi itu telah meyeret nama-nama besar lainnya, dari politisi, pejabat negara hingga kepala daerah. Gamawan disebut menerima aliran dana korupsi e-KTP sebesar USD4,5 juta dan Rp50 juta.
"Selain memperkaya diri sendiri, para terdakwa (Irman dan Sugiharto) juga memperkaya diri sendiri dan korporasi. Gamawan Fauzi sejumlah USD4.500.000 dan Rp50.000.000," kata Jaksa Irine Putri saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/3).
Dalam penjelasannya, Jaksa KPK mengatakan, pada November 2009, Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan No.471.13/4210.A/SJ untuk mengubah sumber pembiayaan proyek e-KTP, yang semula menggunakan pinajaman hibah luar negeri menjadi anggaran murni.
Perubahan sumber pembiayaan tersebut pun dibahas dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II DPR. Kemudian, pada awal Februari 2010, setelah mengikuti rapat membahas anggaran Kementerian Dalam Negeri, terdakwa I diminta sejumlah uang oleh Burhanudin Napitupulu selaku Ketua Komisi II DPR ketika itu.
Setelah melakukan serangkaian pertemuan, akhirnya disepakati soal proyek e-KTP ini, antara Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha rekanan yang biasa mengendalikan proyek dengan Kemendagri dan Komisi II DPR. Hingga akhirnya munculah angka Rp5,9 triliun untuk pembiayaan proyek e-KTP.
"Proses pembahasan anggaran tersebut dikawal oleh Fraksi Golkar dan Demokrat, dengan kompensasi Andi Narogong akan memberikan fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri," ungkapnya.
Hasil dari beberapa kesepakatan dan pengaturan yang dilakukan Andi Narogong, pada 20 Juni 2011 panitia pengadaan menyampaikan usulan penetapan pemenang pelaksanaan e-KTP dengan rencian pemenang adalah Konsorsium PNRI, dengan penawaran Rp5.841.896.144.993. Kemudian pemenang cadangan adalah Konsorsium Astragraphia, dengan harga penawaran Rp5.950.304.787.554.
"Bahwa untuk memperlancar penetapan pemenang lelang, pada pertengahan Juni 2011 Andi Narogong kembali memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui saudaranya Azmin Aulia sejumlah USD2,5 juta," jelasnya.
Selang beberapa hari, pada 21 juni 2011 Gamawan menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp5.841.896.144.993, berdasarkan surat keputusan Mendagri Nomor: 471.13-476 tahun 2011. Penetapan tersebut diikut dengan pengumuman pemenang lelang oleh panitia setelah lima hari kemudian.
Namun, pada akhirnya proyek e-KTP ini tak berjalan mulus dan terendus rasuah oleh KPK. Mega proyek di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu disinyalir merugikan keuangan negara hingga Rp2.314.904.234.275,39 sesuai perhitungan BPKP. Uang hasil korupsi itu mengalir ke kantong pribadi anggota DPR, pejabat di Kemendagri, pengusaha pemenang proyek dan partai politik. (Pon)
Baca juga terkait mega korupsi e-KTP dalam artikel: Skandal Mega Korupsi e-KTP Perlahan Menggiring Badai