Kisah Mbah Marno, Nenek 96 Tahun Penjual Pecel


Mbah Marno, penjual pecel di Yogyakarta (Foto: MerahPutih/Fredy Wansyah)
MerahPutih Budaya - Mbah Marno, begitu nama tersemat di dirinya. Kini usianya sudah hampir satu abad, 96 tahun. Meski setua itu, Mbah Marno tampak gesit memasak dan menata masakannya di atas wadah yang telah disediakan.
Rumahnya tampak begitu sederhana. Perabotannya sebagian besar dari papan dan kayu. Sementara dipan, meja dan kursinya hanyalah terbuat dari bambu. Dapurnya berisikan beberapa anglo yang selalu mengepulkan asap. Di sanalah Mbah Marno setiap hari memasak.
Di Dusun Semanggi, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, namanya tak asing lagi bagi para tetangga. Pasalnya, hampir setiap hari rumahnya selalu dicari pemburu kuliner pecel. Dengan begitu, tidaklah sulit mencari rumah Mbah Marno.
Sudah 40 tahun lebih Mbah Marno menjajakan nasi pecel di rumahnya. Dari kurun waktu itulah, Mbah Marno selalu dicari-cari karena pecel racikannya. Bukan hanya karena daya tarik dan citarasa pecelnya saja, Mbah Marno diburu pecinta pecel lantaran gayanya yang nyentrik. Ia hanya menggunakan kutang. Tak ubahnya seorang baywatch. Sementara untuk bawahannya, ia menggunakan kain sarung. Karena itu pula, pembeli pecelnya dahulu melabeli "pecel baywatch".
Awalnya, Mbah Marno berdagang nasi pecel berpindah-pindah lapak, meski tidak keliling setiap saat dan setiap hari. Ia berdagang di sekitar Semanggi saja. "Ada banyak orang yang beli di rumah, terus buka di rumah aja," kata Mbah Marno, dengan bahasa Jawa, saat ditemui merahputih.com, Rabu (30/11), di rumahnya, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta.
Sejak awal berjualan nasi pecel, Mbah Marno melakukannya sendiri. Hal itu berlangsung hingga beberapa tahun saja, sebelum akhirnya ia dibantu saudara yang tak jauh dari rumahnya.
Selama berjualan, Mbah Marno menemui banyak rintangan. Baginya, rintangan terberat ialah gempa yang melanda Yogyakarta tahun 2006. Kala itu, sebagian rumahnya rusak parah. Lapak berjualannya berantakan, termasuk dapur. Namun, ia tetap gigih perlahan membenahi lapak dagangannya meski ala kadarnya.
Di usianya yang menjelang 100 ini, Mbah Marno mengaku berdagang tidak selincah dahulu. Karena itulah, ia kini dibantu orang lain. "Yang masak orang lain. Mbah jadi bantuin masaknya. Yang jualan (melayani pembeli) kadang-kadang Mbah," katanya dengan bahasa Jawa. (Fre)
BACA JUGA:
Bagikan
Berita Terkait
Mengicip Itak Pohul-Pohul khas Sumatra Utara, Kehangatannya Bawa Ingatan akan Rumah

5 Rekomendasi Kuliner di Jogja yang Tak Boleh Dilewatkan
