Kiai Istiqlal Nasihati Umat: Stop Fanatisme Salah Tempat, Agama Jadi Enak Jika Tidak Kelebihan Garam
Ilustrasi: Reuni 212 di Jakarta. (Foto: MP)
Merahputih.com - Kepala Bidang Penyelenggaraan Peribadatan Masjid Istiqlal Jakarta, KH. Bukhori Sail At-Tahiri, mengimbau masyarakat agar selalu waspada terhadap gejala fanatisme agama yang berpotensi disusupi oleh politisasi dan upaya adu domba.
Menanggapi berbagai peristiwa keagamaan yang menjadi sorotan publik, seperti Reuni 212 pada penghujung tahun 2025, Bukhori menyoroti adanya narasi dan propaganda intoleran yang ditemukan dalam beberapa perayaan sebelumnya.
Menurutnya, hal ini terjadi karena banyak umat Islam yang belum sepenuhnya memahami esensi ajaran Islam sebagai agama yang moderat (wasathiyah) dan menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Baca juga:
Reuni 212 di Monas, Gubernur Pramono Imbau Warga Jaga Keamanan Jakarta
Panji dan Bendera Negara: Jangan Campuradukkan Budaya dan Syariat
Bukhori secara khusus menanggapi gerakan serupa yang sering menggunakan jargon-jargon agama, bahkan sampai pada seruan untuk menolak bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera tertentu. Ia menekankan bahwa sering kali umat yang awam ilmu agamanya mencampuradukkan penempatan antara budaya dan syariat.
Ia menjelaskan bahwa panji berwarna hitam bertuliskan La Ilaha Illallah berwarna putih yang sering disebut sebagai 'bendera Islam' atau 'panji Rasulullah' bukanlah bendera Islam secara universal.
"Panji tersebut adalah panji khusus yang digunakan ketika peperangan di masa Rasulullah dan para khalifah. Tentu terlihat sangat dipaksakan penggunaannya jika dikibarkan di Indonesia yang saat ini dalam kondisi damai," jelas Bukhori dikutip Antara, Selasa (2/12).
Bukhori mempertanyakan mengapa negara-negara Islam, termasuk Arab Saudi yang dikenal sebagai pusat Islam justru menggunakan bendera hijau khasnya sebagai bendera negara yang sah.
Begitu pula Mesir, Suriah, dan Irak, yang merupakan tempat-tempat peradaban Islam besar, masing-masing memiliki bendera negara yang berbeda.
"Sebagian masyarakat Indonesia tidak paham akan hal ini. Begitu mereka melihat ada panji atau bendera yang dinamakan sebagai bendera Islam, mereka menganggapnya itu benar-benar suatu kewajiban dalam Islam. Padahal, tidak ada anjuran bahwa bendera Islam adalah hitam dituliskan La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah putih, tidak ada. Adapun, bendera dari negara-negara Islam, termasuk Indonesia, adalah salah satu ungkapan sejarah berdirinya bangsa tersebut," tegasnya.
Moderasi Agama sebagai Benteng Politik Praktis
Bukhori memandang bahwa bendera negara, seperti Merah Putih, berkaitan erat dengan filosofi bernegara dan sejarah bangsa. Merah Putih telah menjadi ciri khas Indonesia sejak kemerdekaan.
Oleh karena itu, gagasan untuk mengganti bendera Merah Putih sama sekali tidak relevan dan tidak ada manfaatnya, sebab korelasi bendera tersebut dengan sejarah Indonesia sudah sangat tepat.
Lebih lanjut, ia menyayangkan sikap berlebihan (ghuluw) dalam beragama yang masih dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam.
Sikap ekstrem ini, menurutnya, kerap menjadi fanatisme yang salah tempat dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik praktis.
Baca juga:
Agenda Lengkap Reuni 212 di Monas: Doa, Zikir, hingga Kehadiran Rizieq Shihab
Mengambil sikap moderat dalam beragama justru akan memberikan imunitas bagi umat Islam agar tidak mudah terseret arus politis dan segregatif.
"Misalnya saja, kadang ada keinginan untuk berbuat yang terbaik, lalu ia melebih-lebihkan upayanya di luar yang semestinya. Itu kan seperti orang memasak hidangan atau makanan, namun karena dia ingin enak, dikasih garam sebanyak-banyaknya atau diberi bumbu yang tidak sesuai dengan porsinya. Tidak bisa seperti itu," ungkapnya.
Bukhori menekankan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kedamaian dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, ajakan atau pemahaman yang mengabaikan atau melanggar nilai-nilai kemanusiaan jelas tidak berasal dari Islam.
"Tujuan kita beragama Islam itu salah satunya supaya kita bisa hidup damai dan sejahtera. Kalau kemudian kita menerapkan ajaran Islam, kok yang terjadi adalah huru-hara dan semacamnya yang akhirnya malah saling serang hanya karena perbedaan yang remeh, itu adalah pemahaman dan pengamalan beragama yang keliru," pungkasnya.
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
Kiai Istiqlal Nasihati Umat: Stop Fanatisme Salah Tempat, Agama Jadi Enak Jika Tidak Kelebihan Garam
Reuni 212 di Monas, Gubernur Pramono Imbau Warga Jaga Keamanan Jakarta
Agenda Lengkap Reuni 212 di Monas: Doa, Zikir, hingga Kehadiran Rizieq Shihab
Rekayasa Lalu Lintas Reuni 212: Sejumlah Ruas Jalan di Monas Ditutup Selasa (2/12) Sore
Dishub DKI Siapkan 17 Lokasi Parkir untuk Peserta Reuni 212 di Monas
Pramono Dipastikan Hadiri Reuni 212, Polisi Berikan Pengamanan dan Layanan
Monas Kembali Jadi Tuan Rumah Reuni Akbar 212: Prabowo Diundang, Rizieq Shihab Dijadwalkan Datang
Menag Nasaruddin Umar Bahas Tindak Lanjut Deklarasi Istiqlal-Vatikan dengan Paus Leo XIV di Roma
Prabowo Bagi-Bagi Amplop THR Idul Adha ke Pedagang Istiqlal, Isinya Lembaran Rp 100 Ribu
Istiqlal Bilang Sapi Kurban dari Prabowo 1,3 Ton, Jubir Presiden Sebut 1,25 Ton