Ketika Sampah Jadi Tren Industri Mode Thailand


Kain bekas memiliki banyak potensi. (Foto: Pexels/Anas Jawed)
BAGI banyak orang potongan kain dari pakaian bekas, gorden, dan karpet mungkin dipandang sampah yang perlu dibuang. Namun, itu tak berlaku bagi Krittiga Kunnalekha, pemilik Nymph Vintage, sebuah toko pakaian daring di Thailand.
Krittiga melihat barang-barang tersebut memiliki banyak potensi dikembangkan. Setelah potongan kain ini melewati tangan kreatifnya, sampah itu jadi pilihan untuk blouse, gaun, dan rok yang penuh warna.
“Yang lain melihat tumpukan kain dan melihat sampah. Tapi saya selalu berpikir bahwa (kain bekas-Red.) memiliki banyak potensi," kata Krittiga dalam thestar.com (28/1).
Lantaran upayanya ini, Krittiga ikut menopang dan memopulerkan tren baru di Thailand: mode daur ulang.
Minat pada pakaian seperti ini tumbuh di negeri tersebut karena pembeli fesyen mulai menyadari untuk memiliki produk fesyen berjangka panjang yang lebih berkelanjutan, ramah lingkungan, dan unik.
Ketertarikan tersebut berawal dari yang reputasi Bangkok sebagai ibu kota belanja serba cepat dan mal grosir besarnya yang dipenuhi dengan pakaian murah produksi massal.
Baca juga:
PUMA X Nicole McLaughlin Ciptakan Jaket Upcycle dari Sarung Tangan Kiper
View this post on Instagram
Secara internasional, lebih banyak merek fesyen mencoba memasarkan diri mereka sebagai bisnis yang sadar lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial yang mengadopsi ekonomi sirkular.
Ekonomi sirkular merupakan kerangka kerja produksi dan konsumsi yang mempromosikan gagasan untuk menggunakan kembali, mendaur ulang, dan meminimalkan limbah.
Pertumbuhan tren ini terjadi karena sebagian besar merupakan respons terhadap peningkatan kesadaran konsumen tentang dampak negatif dari mode cepat. Juga kekhawatiran yang lebih besar atas masalah lingkungan dan sosial. Hasilnya, pasar untuk fesyen berkelanjutan pun muncul dan berkembang.
Menurut The Business Research Company, pasar mode etis global terus bertumbuh. Pasar ini didefinisikan sebagai desain, produksi, dan distribusi pakaian yang menempatkan skala prioritas untuk meminimalisasi kerugian pada manusia dan lingkungan. Nilainya mencapai 6,35 miliar dolar AS atau sekira 95 triliun rupiah pada 2019.
Sektor ini mencakup bisnis yang membayar pekerjanya secara adil dan merek yang menggunakan produk alami, daur ulang, dan digunakan kembali. Nilainya menyentuh 7,57 miliar dolar AS atau 11,33 triliun rupiah pada 2022. Pada 2027, nilainya diperkirakan akan mencapai 11,12 miliar dolar AS atau 16,64 Triliun rupiah.
Ini juga terjadi di Thailand, di mana semakin banyak toko pakaian lokal menempatkan perputaran modal mereka pada tren keberlanjutan. "Sekarang trennya adalah untuk mendaur ulang. Kamu menggunakan kain yang sudah ada dan memberikan tampilan dan gaya baru. Dengan cara ini, kamu menciptakan nilai lebih,” terang Krittiga, yang sekarang tinggal di Chiang Mai.
Baca juga:
View this post on Instagram
Sejak membuka Nymph Vintage lima tahun lalu, Krittiga telah melihat penjualannya meningkat sekitar 15 persen. Dia juga telah menyaksikan beberapa toko "upcycle" lainnya dibuka di seluruh Thailand.
“Beberapa dari mereka meniru gaya saya dalam membuat ulang pakaian. Tapi saya tidak kesal, karena itu berarti lebih banyak orang ingin mengambil bagian dalam gerakan ini,” tutur Krittiga.
Sementara desain Krittiga sederhana dan kitsch, pakaian daur ulang yang dibuat oleh Sarita Prapasawat, desainer berusia 27 tahun, relatif lebih edgy. Tokonya menjual atasan korset, bawahan, dan tas bergaya brokat.
"Banyak pelanggan kami tidak percaya bahwa apa yang mereka kenakan dulunya adalah karpet atau tirai," kata Sarita, yang mengatakan penjualan telah meningkat lebih dari 50 persen dalam dua tahun terakhir dengan lebih banyak pelanggan memesan dari luar negeri.
Ketika dia mendirikan toko empat tahun lalu, Sarita secara pribadi menjahit setiap pakaian menggunakan kain dari pakaian bekas yang dibeli dari pasar loak di Thailand atau di luar negeri.
“Tapi sekarang ada terlalu banyak pesanan dan saya tidak bisa melakukannya sendiri. Saya menyewa penjahit untuk membantu saya,” sebut Sarita.
Sarita melabeli produknya dengan Marry Melon. Ini menjadi terkenal tahun 2022 ketika beberapa pemengaruh (influencer) dan aktris lokal terlihat mengenakan desainnya.
Dari sinilah Sarita mendapatkan kesepakatan bagus dengan merek ritel Pomelo yang berbasis di Bangkok dan tempat di toko daring mereka.
Melihat perkembangan penjualan produk Krittiga dan Sarita, tren ini masih akan terus berlanjut. (ahs)
Baca juga:
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
Giorgio Armani Meninggal Dunia, Selebritas Kenang sang Ikon Fesyen sebagai Legenda

Desainer Legendaris Italia Giorgio Armani Meninggal Dunia

Chloe Malle Resmi Diumumkan sebagai Pengganti Anna Wintour Pimpin Vogue

Moscow Fashion Week Perkuat Relasi dengan Indonesia

Sepatu Nyaman Jadi Tren, Bisa Dipakai di Segala Acara

ASICS Gel Cumulus 16 Dukung Gerak Aktif dalam Balutan Gaya, Dilengkapi Teknologi Terkini untuk Kenyamanan Pengguna

The Best Jeans For Every Body: Koleksi Denim Terbaru UNIQLO Hadir Lebih Lengkap

Tampil di BRICS+ Fashion Summit in Moscow, Indonesia Soroti Industri Manufaktur Berkelanjutan

Adidas Indonesia Rayakan Keberagaman Lewat FW25 Island Series Indonesia Graphic Tees, Bawa Semangat ‘Satu Nusa Satu Bangsa’

Plaza Indonesia Fashion Week 2025: Surat Cinta untuk Mode Lokal
