Kehidupan Sosial-Budaya Masa Demokrasi Terpimpin, Pers Dikekang dan Budaya Barat Dilarang


Hasil kebudayaan Barat berupa piringan hitam musik The Beatles dan penyanyi lainnya disita polisi pada masa Demokrasi Terpimpin (Foto: ANRI)
MerahPutih.com - Halo, Guys! Pernah enggak sih kalian merasa bahwa musik, film, dan media sosial yang kita nikmati sehari-hari punya kekuatan besar buat memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak?
Nah, bayangkan kalau semua itu diatur dan diawasi ketat oleh pemerintah. Inilah yang terjadi di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966).
Masa itu, kehidupan sosial dan budaya sangat dipengaruhi oleh politik dan ideologi. Media, musik, dan seni bukan hanya soal hiburan, tapi juga alat untuk menyebarkan ideologi dan propaganda.
Yuk, kita lihat bagaimana orang-orang saat itu, juga anak mudanya, menghadapi tantangan ini dan bagaimana hal tersebut membentuk sejarah kita hingga saat ini.
Mungkin kita bisa belajar sesuatu yang berharga dari sejarah buat menghadapi tantangan zaman sekarang!
Baca juga:
Jakarta dalam Visi Sukarno Masa Demokrasi Terpimpin, Kota Mercusuar Modern Negara Asia-Afrika
Pers Harus Sejalan dengan Gagasan Sukarno
Sejak Presiden Sukarno menyatakan visinya tentang arah perubahan (revolusi) Indonesia di bawah kepemimpinannya pada 17 Agustus 1959, pers Indonesia harus mengikuti apa mau Sukarno.
Dalam pidato berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita", Sukarno merumuskan lima gagasan pokoknya: UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Lima gagasan itu disebut sebagai USDEK.
Sukarno juga menetapkan tujuan revolusi Indonesia: masyarakat adil dan makmur dengan demokrasi yang sesuai kepribadian nasional, yaitu Demokrasi Terpimpin.
Sukarno menganggap dirinya sebagai penyambung lidah rakyat. Apa keinginan dan kebutuhan rakyat, dia tahu.

Dalam Demokrasi Terpimpin, Sukarno adalah pengarah dan pemimpin jalannya revolusi. Dia tahu apa yang baik dan buruk bagi rakyat.
Sukarno menegaskan posisinya saat disahkan sebagai Pemimpin Besar Revolusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada November 1960.
"Saya tidak saja diterima sebagai penyambung lidah masyarakat, tetapi juga sebagai Pemimpin Besar Revolusi," kata Sukarno, seperti diceritakan oleh Mochtar Lubis dalam buku Hati Nurani Melawan Kezaliman.
"Sebagai konsekuensinya rakyat harus pula mematuhi segala pimpinan yang saya berikan. Ibarat saya sebagai seorang jenderal, maka prajuritnya patuh pada segala perintahnya," lanjut Sukarno.
Baca juga:
Sejarah Program Makan Bergizi Zaman Sukarno, Menggugah Kesadaran Gizi Anak Sekolah
Pengekangan Pers
MPRS juga menetapkan pidato Sukarno pada 17 Agustus 1959 tadi sebagai Haluan Negara atau sumber kebijakan. Pidato itu lalu dikenal dengan sebutan Manipol (Manifesto Politik)-USDEK.
Bila ada yang enggak patuh dengan haluan itu, maka siap-siaplah menerima konsekuensinya. Pers yang ‘bandel’ akan dibreidel atau ditutup.
Menurut Manipol-USDEK, pers pun harus turut berperan sebagai alat perjuangan untuk penyelesaian revolusi.
Apalagi sejak 14 Maret 1957, karena pergolakan di daerah, Indonesia berada dalam keadaan darurat perang (Staat van orlog en beleg/SOB). Keadaan itu sekarang disebut sebagai darurat militer.
Situasi itu berarti negara enggak aman dan militer pegang kuasa penuh bersama Sukarno. Seluruh pers berada dalam kendali dan pengawasan tentara demi memulihkan keamanan negara.

“Pengendalian pers semakin diintensifkan lagi pada tahun-tahun 1960—1961. Pada tahun 1960, redaksi surat kabar diharuskan berjanji setia kepada ideologi negara,” sebut Herbert Feith, peneliti asal AS, dalam bukunya Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin.
Pada 1961, jumlah surat kabar harian menurun. Dari 90 surat kabar, jadi tinggal 65 saja.
Ke mana 25 lainnya? Ya, ditutup.
Alasannya, karena pers tersebut enggak mendukung gagasan Sukarno. Dianggap pula memusuhi revolusi.
"Saya dengan tegas menyatakan sekarang bahwa dalam suatu revolusi tidak boleh ada kebebasan pers. Hanya pers yang mendukung revolusi yang dibolehkan hidup. Pers yang bermusuhan terhadap revolusi harus disingkirkan," kata Sukarno seperti diungkap oleh Edward C. Smith dalam bukunya Pembreidelan Pers di Indonesia.
Jadilah pers pada masa Demokrasi Terpimpin seperti buzzer pemerintah sekarang.
Ironisnya, meski mengekang pers, Indonesia justru menjadi tuan rumah konferensi jurnalis Asia-Afrika di Jakarta pada 24-30 April 1963.
Baca juga:
Lekra vs Manikebu
Enggak cuma pers, aspek kebudayaan pun dikendalikan ketat oleh pemerintah.
Sejak beroleh kekuasaan besar di Indonesia lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Sukarno mengajak rakyat buat kembali ke kepribadian nasional.
Sukarno mengecam keras anak-anak muda yang lebih tertarik dengan kebudayaan Barat daripada kebudayaan nasional.
Saat itu, kebudayaan Barat diwakili antara lain oleh musik rock and roll, dansa cha-cha, novel-novel cabul, dan film-film percintaan.
Bagi Sukarno, semua itu adalah bentuk imperialisme kebudayaan. Dia mengajak anak-anak muda melawan itu.
"Pemerintah akan melindungi kebudayaan Nasional, dan akan membantu berkembangnya kebudayaan Nasional, tetapi engkau pemuda-pemudi pun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudayaan," kata Sukarno.
Gagasan Sukarno ini didukung oleh para budayawan dan seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Bagi Lekra, kebudayaan dibentuk oleh kesenian, ilmu, dan industri. Sayangnya ketiga hal tersebut belum sepenuhnya dimiliki oleh rakyat.
Menurut Lekra, ketiga hal itu hanya dimiliki oleh kelas elite. Karena itu, Lekra mendorong rakyat, terutama buruh dan tani, merebut tiga hal tersebut demi menjadikan kebudayan indah.
"Rakyat Indonesia harus berjuang untuk menguasai dan memiliki kesenian, ilmu, dan industri," tulis Mukaddimah Lekra 1950.
Meski enggak berada dalam struktur Partai Komunis Indonesia (PKI), Lekra punya kaitan erat dengan partai tersebut.
"Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kesepahaman ideologi atau meminjam istilah Ketua CC PKI Aidit sendiri: 'keluarga Komunis'," tulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam bukunya Lekra Tak Membakar Buku.

Lekra dan PKI sama-sama menekankan perjuangannya pada kelompok buruh dan tani. Mereka juga punya kesepahaman tentang konsep berkesenian yang disebut realisme sosialis.
Maksud realisme sosialis adalah paham kesenian yang menitikberatkan pada cerita dan karya yang menggambarkan perjuangan orang-orang biasa melawan penindasan.
"Dan dalam konteks Indonesia sokogurunya terdiri dari kaum tani dan buruh," tulis Yahaya Ismail dalam buku Pertumbuhan, Perkembangan, Dan Kejatuhan Lekra Di Indonesia.
Lekra juga mendukung gagasan 'Politik adalah Panglima'. Konsep ini menempatkan politik sebagai mula dan tujuan akhir dari kebudayaan.
Artinya, praktek kebudayaan dan perilaku keseharian haruslah berlandas pada ideologi negara dan bertujuan akhir menjunjung ideologi negara.
Beberapa budayawan seniman yang tergabung dalam Lekra antara lain Pramoedya Ananta Toer (sastrawan), S. Rukiah Kertapati (penulis), Gesang (musik), Tan Sing Hwat (film), dan Henk Ngantung (pelukis).
Ada kelompok budayawan lain yang bertentangan dengan Lekra. Mereka mengusung konsep humanisme universal yang menekankan kebebasan dalam praktek kebudayaan dan berkesenian.
Kelompok-kelompok seniman bebas inilah yang kemudian mengeluarkan pernyataan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) buat menentang konsep-konsep Lekra.
Mereka keluarkan pernyataan itu pada 19 Oktober 1963 melalui harian Berita Republik.
Mereka menganggap dua konsep itu bakal cuma menghasilkan karya-karya yang bersifat propaganda dan merendahkan nilai kemanusiaan (dehumanisasi).
Beberapa tokoh Manikebu antara lain Goenawan Mohamad (sastrawan), H.B. Jassin (akademisi/kritikus sastra), Soe Hok Djin/Arief Budiman (esais), Trisno Sumardjo (pelukis), Wiratmo Sukito (budayawan), dan Boen S. Oemarjadi (perempuan akademisi Fakultas Sastra Universitas Indonesia/FSUI).
Baca juga:
Mengenal Tritura, Suara Rakyat di Tengah Krisis Ekonomi dan Politik
Pengganyangan Kebudayaan Barat
Selama rentang Demokrasi Terpimpin, Lekra kerap menyerang kelompok Manikebu, baik secara gagasan maupun fisik.
Di Jakarta, media massa memuat gagasan seniman Lekra yang mengkritik kelompok Manikebu dengan kata-kata kasar yang provokatif dan nyelekit.
Misalnya Lekra menyerukan 'Ganyang Manikebu' dan mudah melabelisasi pakai istilah 'Antek Imperialis' atau 'Kontra-Revolusioner'.
Lekra juga menganggap tokoh-tokoh Manikebu sebagai agen kebudayaan Barat sehingga harus 'dibasmi habis'.
Serangan itu dilakukan pula oleh Pramoedya Ananta Toer lewat artikelnya di rubrik "Lentera" harian Bintang Timur. Saking kasarnya serangan itu, H.B. Jassin sampai berharap Pramoedya 'kembali waras'.
"Saya berdoa semoga Saudara kembali waras dan penyakit Saudara tidak berlarut-larut hingga jiwa Saudara tidak tertolong lagi," kata Jassin dalam suratnya 14 Januari 1964, seperti dimuat dalam Surat-Surat 1943-1983.
Karena punya dukungan Sukarno, Lekra berhasil menyudutkan tokoh-tokoh Manikebu. Pada akhirnya, Manikebu dilarang secara resmi oleh pemerintah pada 8 Mei 1964.
Tokoh-tokoh Manikebu pun kesulitan berekspresi dan bekerja. H.B. Jassin, misalnya, harus tersingkir dari dosen FSUI.

"Pada temu muka dengan Jassin tanggal 12 Mei 1964, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan RI sendiri mengatakan 'membebaskan Jassin dari tugas mengajar mulai tanggal 8 Mei 1964'," kata Pamusuk Eneste dalam buku H.B. Jassin Paus Sastra Indonesia.
Setelah berhasil menyingkirkan Manikebu, Lekra terus melakukan agitasi dan serangan terhadap pengusung kebudayaan Barat.
Lekra mengecam keras film dan buku yang menunjukkan kebencian bangsa, anti-rasionalisme, anti-realisme, nafsu untuk bunuh membunuh, dan sebagainya.
"Lekra juga mendesak supaya film-film asing khasnya buatan Amerika dilarang untuk diputar pada bioskop-bioskop di seluruh Indonesia," begitu menurut Yahaya Ismail.
Khusus buat film, seniman Lekra memotori pendirian Papfias (Panitia Aksi Pengganyangan Film-Film Imperialis Amerika Serikat) pada 9 Mei 1964.
"Membuka lembaran gelap bagi dunia film dan bioskop kita," kata Budiarto Danujaya dkk. dalam buku Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia.
Bersama itu pula, musik rock and roll dan dansa twist Barat mulai dilarang diperdengarkan dan ditampilkan.
"Pada tahun 1963-an pemerintah melarang penampilan dan pemutaran piringan hitam, beberapa penyanyi yang sering dianggap identic engan penyanyi Barat," sebut R. Muhammad Mulyadi dalam tesisnya Industri Musik Nasional (Pop, Jazz, dan Rock 1960-1990).
Sebagai gantinya, Sukarno merumuskan lenso, sebuah musik yang mengambil irama dari alat musik dan gerak tari Maluku.
Sempat ada insiden penangkapan Koes Plus Bersaudara pada 29 Juni 1965. Koes Bersaudara dianggap mengusung musik The Beatles yang dilarang dan sering disebut musik ngak-ngik-ngok.
Namun, penangkapan itu ternyata bagian dari strategi buat menyusupkan anggota Koes Bersaudara ke Malaysia dalam misi mengganyang Malaysia.
Saat itu, Indonesia memang lagi berkonfrontasi dengan Malaysia yang dianggap buatan negara imperialis Inggris.
Meski penangkapan Koes Bersaudara hanya sandiwara belaka, razia terhadap piringan hitam The Beatles benar-benar nyata.
Razia digelar berlandas pada Penetapan Presiden No 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Subversi bisa diartikan sebagai tindakan melawan negara yang bisa berujung pada hukuman. Jadi, menjual atau mendengarkan buku, musik, dan tari Barat pun termasuk tindakan subversi.
Bentuk hukumannya, dari penyitaan produk tersebut sampai penangkapan! Ngeri kan?
Nah itulah tadi gambaran kehidupan sosial budaya pada masa Demokrasi Terpimpin.
Kebayangkan betapa mahalnya harga kebebasan berekspresi dan berkesenian itu?
Karena itulah bangsa kita menolak segala macam kediktatoran dan otoritarianisme yang merenggut hak-hak asasi manusia. (dru)
Baca juga:
Demo Mahasiswa 1966, Ketika Suara Anak Muda Mengubah Sejarah Indonesia
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
1 Oktober Memperingati Hari Apa? Dari Hari Kesaktian Pancasila hingga Tragedi Kanjuruhan

30 September Memperingati Hari Apa? Ada G30S/PKI hingga Momen Penting Dunia

29 September Diperingati Hari Apa? Ini Daftar Lengkap dengan Fakta Sejarahnya

27 September Memperingati Hari Apa? Lengan dengan Sejarah dan Fakta Menarik

25 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Peristiwa Penting dan Fakta Menariknya

23 September Memperingati Hari Apa: Ini Fakta Lengkapnya

22 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Peringatan Penting dan Fakta Menariknya

19 September Memperingati Hari Apa? Fakta Sejarah Ini Jarang Diketahui!

18 September Memperingati Hari Apa? Kamu Harus Tahu!

16 September Memperingati Hari Apa? Ini 5 Sejarah Penting yang Terjadi
