Unjuk Rasa Antirasialisme Bisa Cetuskan COVID-19 Gelombang Dua, ini Alasannya


Kerumunan pengunjuk rasa bisa memicu lonjakan kasus COVID-19.(Foto: Unsplash/Obi Onyeader)
KERUMUNAN demonstran telah memenuhi jalan-jalan di Amerika Serikat dan Eropa untuk berdemonstrasi menentang rasialisme dan kekerasan polisi. Meskipun gerakan itu membawa pesan positif, para ahli medis khawatir kerumunan saat unjuk rasa bisa memicu lonjakan kedua infeksi COVID-19.
"Hal pertama yang aku lihat ialah ini menjadi peluang sempurna bagi virus untuk terus menyebar," kata John Swartzberg, profesor emeritus untuk penyakit menular dan vaksinologi di University of California, Sekolah Kesehatan Masyarakat Berkeley.
Baca juga:

Kepada Euronews, Swartzberg mengatakan para demonstran tidak menjaga jarak sosial. Selain itu, banyak orang juga tidak mengenakan masker wajah. "Itu bukan hanya para pengunjuk rasa, polisi juga tidak menjaga jarak sosial dan tidak memakai masker wajah," katanya.
Kerumunan besar di kota-kota di seluruh dunia bisa dikatakan jadi pemandangan aneh setelah berbulan-bulan hidup terpisah secara fisik untuk menghentikan penyebaran COVID-19.
Di Prancis, pihak berwenang melarang demonstrasi karena masalah kesehatan pekan lalu, tetapi pengunjuk rasa tetap muncul. Para pejabat Australia juga mengutuk unjuk rasa akhir pekan ini. Mereka menyerukan agar orang-orang menegakkan aturan yang membatasi pertemuan di luar ruangan sampai maksimal 300 orang.
Baca juga:

Mengaitkan protes dengan peningkatan infeksi bukanlah ilmu pasti. Namun, menurut Swartzberg, dampaknya akan menjadi lebih jelas dalam waktu beberapa minggu. "Biasanya sekitar dua, mungkin tiga minggu setelah protes. Setidaknya setelah protes dimulai, kita akan melihat peningkatan dalam jumlah kasus. Namun, itu belum tentu membuktikan protes menjadi biang kerok," jelasnya.
Namun, dia berkeras bahwa protes damai tetap 'sangat penting' dalam masyarakat. Beberapa langkah sederhana harus ditempuh untuk memastikan semua orang tetap aman.
"Penyebabnya sangat penting, tetapi cobalah untuk melakukannya dengan cara menghindari penyebaran virus. Jika kamu mengenakan masker di wajah di saat kamu berteriak, itu akan mengurangi jumlah partikel yang akan keluar dari mulut kamu dan menulari orang lain," katanya.
Swartzberg menyarankan untuk tetap menjaga ajarak aman minimal 2 meter dari orang lain. Di sisi lain, polisi bisa menghentikan penggunaan gas air mata dan semprotan merica. Hal itu mengingat orang-orang dapat tertular virus melalui sentuhan tangan ke mata. Gas air mata dan iritasi lainnya akan memungkinkan mata disentuh tangan. Hal itujuga dapat memancing orang untuk berpencar secara serampangan dan bingung sehingga mereka dapat dengan mudah bertemu satu sama lain.
Pada akhirnya, terserah kepada setiap individu untuk berperilaku dengan bertanggung jawab dan menilai seberapa berisiko situasinya. "Kamu membuat keputusan untuk dirimu tentang apa yang aman bagimu, dan untuk orang lain di sekitarmu karena kamu bisa saja menulari mereka," katanya. (lgi)
Baca juga:
Kehidupan di Kantor Akan Berubah Dengan Regulasi CDC Terbaru