Inilah Sejarah Lengkap Istilah Pribumi, Luka Lama Politik Adu Domba


Infografis sejarah istilah pribumi di Indonesia (Grafis MP/Arie Prijono)
GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan kembali menjadi sorotan publik usai pidato perdananya di Balai Kota, (16/10) memuat istilah pribumi sebagai korban penindasan. “Dulu kita semua Pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura, Itik telor, ayam singerimi, Itik yang bertelor, ayam yang mengerami,” ucap Gubernur Anies.
Istilah tersebut seakan membawa kembali memori masyarakat di tahun 1997-1998, ketika terjadi kerusuhan dan penjarahan, banyak tembok atau kaca toko, kantor, bahkan warung membubuhkan tulisan ‘Milik Pribumi’ agar terhindar dari penjarahan.
Istilah Pribumi dan NonPribumi lantas jadi semacam bensin di tengah kobar api. Masyarakat menjadi terbelah dan terpecah tanpa pernah berkaca pada ikrar bersama, “Pertama, kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, kedua, kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia, ketiga, kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” dibaca para pemuda sebagai kesadaran berbangsa pada Sumpah Pemuda 1928.
Pada konteks kewarganegaraan, jelas tidak mengenal istilah Pribumi dan NonPribumi. Istilah tersebut muncul sebagai idiom politik sejak berabad-abad lampau.
Setelah VOC berhasil menguasai Batavia dan mendirikan benteng pada tahun 1619, penduduk asli Sunda Kelapa melarikan diri, menyingkir ke barat menuju Banten dan sekitarnya. Batavia seolah kosong, ditinggal penghuninya. VOC kerepotan karena tidak ada sumber daya manusia untuk membangun kota.
Gubernur Jendral JP Coen kemudian membuka kran imigran dari luar kepulauan Nusantara. Kedatangan bangsa Tiongkok, Arab, dan India, melahirkan kawasan-kawasan terkonsetrasi, seperti kawasan pacinan di Pasar Baru, Meester Cornelis, dan Glodok, lalu komunitas Arab di daerah Pekojan lantas menyebar ke Krukut, Sawah Besar, Tanah Abang, dan Kwitang, dan komunitas India di Pasar Baru.
Pemerintah Hindia-Belanda, menurut Francois Gouda pada Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942, membuat peraturan Pasal 163 Indische Staats Regeling pembagian kelas ke dalam tiga golongan: Eropa, Timur Asing (Tiongkok, Arab, dan India), serta Inlander atau pribumi, kemudian pada kelanjutannya mendorong pemisahan kelas sosial.
Peraturan tersebut, beranak-pinak, Staatsblad 1849-25 tentang catatan sipil penduduk Eropa, Staatsblad 1917-130 tentang catatan sipil untuk Golongan Timur, Staatsblad 1920-751 tentang catatan sipil untuk golongan pribumi beragama Islam, dan tak sekadar menaja masalah catatan sipil, lebih jauh dari itu menancapkan pemisahan kelas antara strata atas kaum Eropa, lalu Timur Asing, dan pribumi di urutan terendah.
Tak heran bila di pusat keramaian, restoran, dan tempat berkumpul kaum Eropa, di pintu masuk sering memuat tulisan Verboden voor Inlanders en Honden atau Dilarang masuk Pribumi dan Anjing. Jadi, hasil politik segregasi pemerintah Hindia-Belanda, menyejajarkan kaum pribumi dengan anjing.

Kemerdekaan kelak memang tak sekadar menjadi legitimasi kenegaraan, tapi berkaca pada perlakuan kaum Eropa di Hindia Belanda terhadap kaum pribumi, seakan menjadi pembebas bentuk rasialisme. Pada Pasal 26 UUD 1945, tentang Kewarganegaraan, tak lagi tampak istilah pribumi, perbedaan status kewarganegaraan hanya Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing.
Justru di masa Orde Baru, semangat membuat segregasi kembali muncul seiring terbit Instruksi Presiden (Inpres) No 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, menaruh kecurigaan terhadap kaum Tionghoa dengan ikatan kuat terhadap tanah leluhur sehingga patut dipertanyakan mengenai kesetiaan terhadap Indonesia. Inpres tersebut membuat aktifitas kerohanian dan kebudayaan Tionghoa menjadi sangat terbatas dan dilakukan di ruang-ruang tersembunyi.
Inpres itu pun masih ditambah Surat Edaran No.06/Preskab/6/67, memuat tentang pelarangan penggunaan nama Tiongkok pada orang-orang Tionghoa. Mereka harus mengganti nama lahir menjadi nama bernuansa Indonesia. Lalu, masih ada Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978, berisi larangan mengimpor, memperdagangkan, dan menyebarkan semua jenis barang cetakan dalam bahasa dan aksara Tiongkok.
Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Tionghoa juga diawasi oleh sebuah badan bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC), bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).
Istilah Pribumi dan Non Pribumi kemudian menjadi tertanam kuat selama pemerintahan Soeharto selama lebih kurang 32. Istilah tersebut lantas enjadi embarkasih pembeda kamu Tionghoa dan etnis lain. Komposisi tersebut kemudian menjadi motor penggerak kekerasan terhadap kaum Tionghoa pada kerusuhan tahun 1998.
Presiden BJ Habibie kala itu meredam garis pemisah dengan menghapus istilah Pribum dan NonPribumi pada Instruksi Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 berisi “Menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan NonPribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, atau pun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan”.
Menjadi jelas ketika gubernur baru kembali menggunakan istilah Pribumi justru memantik keadaan semakin memanas pasca-Pilkada. (*)
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Ribuan Ojol hingga Anies Antarkan Jenazah Affan Kurniawan yang Dilindas Mobil Rantis Brimob ke Liang Lahat

Anies Minta Jangan Dulu Undang Tom Lembong ke Berbagai Acara, Biarkan Nikmati Bersama Keluarga

Anies akan Temui Tom Lembong di Rutan Cipinang dan Beri Waktu untuk Curhat

JIS Jadi Tempat Premium, Pramono Akui Beruntung Teruskan Program Gubernur Sebelumnya

[HOAKS atau FAKTA]: Giring Peringatkan Anies Tak Lagi Terjun ke Politik karena Kerap Bikin Gaduh
![[HOAKS atau FAKTA]: Giring Peringatkan Anies Tak Lagi Terjun ke Politik karena Kerap Bikin Gaduh](https://img.merahputih.com/media/73/5e/c5/735ec5e829ef299632ab6d7313bb86b8_182x135.jpg)
Tom Lembong Divonis Bersalah, Anies Komentari Keadilan di Negeri ini masih Jauh dari Selesai

Respons Puan Maharani soal Anies Baswedan Kritik Presiden RI yang Kerap Absen di Forum PBB

Tanggul Baswedan di Pasar Minggu Jebol, Musala Sabili Jati Padang Terendam Sejak Minggu

Anies Punya Cucu Pertama, Ingin Dipanggil ‘Bang’ tapi Dilarang sang Istri

Siap Berlakukan WFA untuk ASN, Pramono: Aturan yang Mudah Diterapkan di Jakarta
