Haringga 'Tumbal' Budaya Amok, Kultur Kekerasan Nusantara yang Abadi di Kamus Oxford
Ilustrasi Budaya Kekerasan. Foto: Pixabay
HARINGGA Sirilia merenggang nyawa setelah dikeroyok massa oknum suporter Persib di area lapangan parkir stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Minggu kemarin, tanggal 23 September. Suporter setia Persija Jakarta yang baru 23 tahun itu tewas mengenaskan.
Warga Cengkareng, Jakarta Barat ini dipukuli menggunakan balok kayu hingga helm. Kucuran darah tak menghentikan aksi para pengeroyok. Massa malah terlihat semakin buas menyerang korban yang sudah tak berdaya. Mungkin menjadi pertanyaan besar, mengapa masyarakat Indonesia yang identik dengan kesatunan dan keramahan adat ketimuran bisa berubah menjadi manusia buas tega mencabut nyawa sesama.
Tragedi tewasnya Haringga, yang tercatat sebagai tumbal kisruhnya sepakbola nasional ke-63 itu, menjadi contoh nyata racun budaya kekerasaan mengendap di masyarakat. Layaknya bom waktu siap meledak memangsa siapa saja dan di mana saja, tanpa pandang bulu. Mau tak mau harus diakui, kasus kematian Haringga akibat kekerasan suporter memang lahir dari kultur masyarakat Indonesia sendiri.
Kisah orang yang diteriaki maling kemudian tewas dipukuli massa, bahkan dibakar hidup-hidup jamak ditemui di negeri ini. Padahal belum tentu korban benar-benar maling seperti yang dituduhkan. Bahkan, kalaupun benar maling, layak kah dia harus kehilangan nyawa dengan cara biadab seperti itu?
Parahnya lagi, mayoritas pelaku penganiaya massa itu belum tentu tahu benar duduk perkaranya. Mereka hanya terprovokasi sesama pengeroyok lain yang lagi-lagi mungkin sama-sama tidak tahu kebenarannya. Hanya karena teriakan mayoritas lainnya, mereka bisa langsung bertindak sebuas-buasnya manusia. Mereka seolah punya pembenaran untuk melakukan amuk massa yang berujung hilangnya nyawa anak manusia.
Kultur Kekerasan Sejak Abad 16