Fenomena amuk massa sebagai budaya asli Indonesia sudah dikenal luas di dunia literasi internasional dengan kata “amok”. Dilansir dari Geotimes, penulis sejarah Rahadian Rundjan menyebutkan masyarakat Barat pertama kali mengenal istilah Amok dari pedagang Portugis yang datang ke Nusantara pada abad ke-16.
Menurut dia, penjelajah Portugis, Duerte Barbosa, pada tahun 1518 menulis bahwa, “ada beberapa orang Jawa yang berkeliaran di jalan dan membunuh sebanyak mungkin orang yang mereka temui. Hal ini disebut dengan Amuco.”
Masih dari tulisan yang sama, disebutkan Jean-Baptiste Tavernier, pedagang permata asal Prancis yang berlabuh di Banten tahun 1648, mencatat hal yang kurang lebih sama (jouit a Moqua). Dalam magnum opus Thomas Stamford Raffles, The History of Java, kata “amok” juga muncul beberapa kali.
Literasi lainnya menyebut steriotipe masyarakat melayu yang memang malas mencari tahu sebab-musabab, mudah latah, dan doyan kekerasan kian memicu mengakarnya budaya Amok. Belum lagi ditambah karakter pandai memendam amarah yang bisa meledak setiap saat tanpa terduga. Budaya lokal yang penuh kekerasan itu begitu melekat di benak para bangsa penjajah.
Abadi di Kamus Oxford
Saking terkesannya masyarakat barat akan budaya amok di Indonesia sampai-sampai mereka tak mampu mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa Inggris. Wajar akhirnya, Amok yang dilafalkan Amuck masuk dalam pembedaharaan kata kamus Oxford sejak berabad-abad silam. Dalam laman en.oxforddictionaries.com, Amok diartikan Behave uncontrollably and disruptively (perilaku yang tidak terkontrol dan merusak).
Lagi-lagi Rahadian menyebutkan psikolog telah menetapkan “amok” sebagai bentuk gangguan kejiwaan, meski masyarakat kita masih kerap mengkambinghitamkan masuknya makhluk halus ke dalam tubuh sebagai alasan. Di Indonesia, kasusnya sudah begitu sering terjadi, baik dalam sejarah ataupun kontemporer. "Saya pikir “amok” adalah elemen budaya kita, yang negatif tentunya," tulis dia.