Dituding Pro HTI, Profesor Suteki Jelaskan Perbedaan Khilafah dan Pancasila


Guru Besar Fakultas Hukum Undip Profesor Suteki (Foto: ANTARA Jateng)
MerahPutih.Com - Nama Profesor Suteki belakangan ramai menjadi perbincangan warganet dan publik di Tanah Air. Hal itu tidak terlepas dari sejumlah tulisan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut di media sosial terkait khilafah.
Suteki dituding membela khilafah sekaligus menolak Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Atas tudingan tersebut, profesor yang pernah menjadi saksi ahli Hizbut Tahrir Indonesia itu menyampaikan pandangannya seputar perbedaan khilafah dan Pancasila.
Menurut dia, Pancasila tidak bisa dibandingkan dengan khilafah. Keduanya memiliki perbedaan yang mencolok.

"Khilafah itu sistem pemerintahan Islam. Dasarnya, tentu Quran dan hadis, kemudian turun lagi ijtihad ulama dan sebagainya. Jadi, bukan paham, bukan ideologi," kata Profesor Suteki di Semarang, Rabu (23/5).
Hal tersebut diungkapkannya menanggapi pemberitaan mengenai unggahan-unggahannya di media sosial yang viral dan ditafsirkan sebagai bentuk dukungan terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Di akun Facebook-nya, Suteki sempat mem-"posting" komentar yang arahnya diduga membela HTI ketika ormas itu dibubarkan oleh Pemerintah, termasuk ketika terjadi rentetan aksi terorisme belakangan.
Kalau khilafah disejajarkan dengan demokrasi, menurut Suteki sebagaimana dilansir Antara, baru bisa karena "apple to apple", sementara jika khilafah di-"track" dengan Pancasila jelas tidak "matching" atau tidak pas.
Pancasila, kata Suteki, adalah ideologi yang turunnya ke demokrasi Pancasila sehingga jika kemudian sistem demokrasi Pancasila yang dibandingkan dengan khilafah baru sejajar.
"Ideologi itu, Islam, komunisme, liberalisme, dan sebagainya. Kalau khilafah itu sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan umat, sementara demokrasi Pancasila berdasarkan kedaulatan rakyat," jelasnya.

Suteki yang pernah diundang HTI sebagai saksi ahli saat sidang gugatan pencabutan badan hukum HTI menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang paling detail mengatur sistem pemerintahan.
"Saya kira HTI juga memahaminya (khilafah, red.) sebagai sistem pemerintahan, bukan ideologi. Saya akui bahwa khilafah itu ajaran Islam. Kalau ajaran Islam itu ada, berarti boleh dipelajari," katanya.
Kalau kemudian boleh mempelajari khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, lanjut dia, mestinya mempelajari dan mendakwahkan ajaran Islam itu tidak boleh dilarang atau dikriminalkan.
"Persoalan khilafah, sekali lagi ini sistem pemerintahan, bukan ideologi, bukan paham, kemudian tidak bisa dijalankan di Indonesia era sekarang ini dan tidak boleh dipaksakan, itu persoalan lain," katanya.
Akan tetapi, Suteki menyebutkan fakta sejarah mencatat bahwa khilafah Islam pernah ada mulai masa Khulafaur Rosyidin hingga 1924 yang juga dipelajari anak-anak di sekolah, termasuk di buku-buku Fikih.
"Kalau untuk menerapkannya (khilafah, red.), jelas tidak bisa karena negara sudah menerapkan demokrasi seperti sekarang ini. Bagaimana memaksakannya? Tetapi, bahwa khilafah itu benar bagian dari ajaran Islam," ungkapnya.
Sebagaimana diwartakan, Universitas Diponegoro berencana menggelar sidang etik Dewan Kehormatan Kode Etik (DKKE) terhadap staf pengajarnya yang diduga mendukung HTI lewat unggahan-unggahannya di medsos, salah satunya Profesor Suteki.
"Saya baru saja mendapatkan informasi, rapat DKKE masih belum selesai sore ini dan akan dilanjutkan besok (24/5). Rapat bersifat tertutup, saya saja tidak diizinkan masuk," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Humas Undip Nuswantoro Dwiwarno.(*)
Baca berita menarik lainnya dalam artikel: Bamsoet Sebut DPR Akan Lebih Baik Jika Dipimpin Alumni KPK
Bagikan
Berita Terkait
Densus 88 Sebut Siti Elina Diduga Terafiliasi dengan Kelompok HTI dan NII
