Demam Barang Jepang di Indonesia pada 1930-an, Sejarah Hubungan Indonesia dan Jepang sebelum Masa Pendudukan


Sebelum Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, barang Jepang sudah digandrungi oleh orang Indonesia. (Foto: Repro buku Jagung Berbunga di Antara Bedil & Sakura)
MerahPutih.com - Halo, Guys! Kamu pasti tahu, kan, kalau remaja Indonesia sekarang hidup di era yang serba cepat dan penuh dengan teknologi canggih? Dari ponsel, kendaraan bermotor, hingga kebutuhan rumah tangga.
Dan kebanyakan produk itu impor alias dari luar, terutama banget dari Jepang atau made in Japan.
Ternyata produk Jepang bukan kali ini saja digandrungi oleh orang Indonesia. Sebelum Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, barang Jepang sudah digandrungi oleh orang Indonesia.
Dalam pelajaran sejarah di SMA, kita sering membahas masa pendudukan Jepang di Indonesia, tapi jarang cerita bagaimana interaksi orang Indonesia dengan orang Jepang sebelum itu.
Nah, kali ini kita lihat bagaimana dan mengapa barang Jepang bisa digandrungi oleh orang Indonesia. Ini adalah bagian dari sejarah hubungan orang Indonesia dengan Jepang.
Masuknya produk Jepang ke Hindia Belanda, nama lama Indonesia, enggak bisa dilepaskan dari pertumbuhan industri di Jepang sejak masa Restorasi Meiji (1868).
Berkat membuka diri dan menyerap ilmu pengetahuan serta teknologi dari Barat, industri di Jepang tumbuh pesat. Pasar penjualan barangnya pun bukan lagi cuma domestik, tapi juga internasional (ekspor).
Pas masa industri ini bertumbuh, muncul pula gagasan ekspansi ke selatan (nanshin-ron) secara damai. Wilayah selatan yang dimaksud adalah Asia Tenggara sekarang (Nanyo/Laut Selatan), termasuk Hindia Belanda.
Maka orang-orang Jepang pun berdatangan ke sini. Mereka sebagian besar pekerja perempuan yang bekerja di rumah hiburan atau bordil.
Nah, perempuan pekerja ini butuh barang keseharian. Muncullah pedagang dari Jepang yang menyuplai kebutuhan mereka.
"Walaupun tempat di Nanyo (Laut Selatan) itu terpencil, jika sekali dibuka bordil maka toko bahan makanan juga dibuka. Pelayan toko berasal dari Jepang. Mereka menjadi bebas dan membuka tokonya sendiri," begitu kesaksian seorang pedagang Jepang ketika itu yang bernama Iheiji Muraoka.
Kesaksian Iheiji diceritakan ulang oleh Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi dalam buku Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara.
Barang-barang kebutuhan perempuan pekerja juga buatan Jepang. Antara lain obat-obatan, tekstil, dan kelontongan (barang kecil keperluan sehari-hari seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, dan peralatan makan).
Namun, waktu itu barang Jepang belum mendominasi Hindia Belanda. Pasokan barang kebutuhan sehari-hari untuk kebanyakan penduduk lokal masih bisa disuplai oleh industri dalam negeri dan Negeri Belanda.
Baca juga:
Alasan Barang Jepang Digandrungi Orang Indonesia
Pergeseran konsumsi ke barang Jepang di Hindia Belanda baru terjadi sejak Perang Dunia (PD) I pada 1914-1918 hingga awal 1920-an.
Selama PD I ini, jalur distribusi barang dari Eropa ke Hindia Belanda terputus. Ekonomi negara Eropa juga terpuruk.
"Sejak peristiwa ini peran Eropa diambil alih oleh Jepang dan membuka jaringan dengan perdagangan barang-barang industri dalam berbagai jenis," sebut Meta Sekar Puji Astuti dalam bukunya Orang-Orang Jepang di Indonesia (1868-1942).

Namun, keadaan berubah lagi setelah PD I. Jalur distribusi barang dari Eropa ke Hindia Belanda mulai pulih. Sementara Jepang justru kena resesi ekonomi.
Tanda resesi ekonomi antara lain aktivitas bisnis melambat, orang-orang mengurangi belanja, dan pengangguran meningkat.
Biasanya, resesi ekonomi terjadi selama beberapa bulan, tapi ekonomi bisa pulih lagi setelahnya. Ibarat orang lagi masuk angin.
Saat berjuang pulih dari resesi, Jepang dihantam gempa bumi besar di Kanto pada 1 September 1923.
"Bisnis Jepang tidak dapat lagi berkembang secara cepat," kata Yoshitada Murayama dalam makalahnya "Pola Penetrasi Ekonomi Jepang ke Hindia Timur Belanda Sebelum Perang".
Barang Jepang mulai digandrungi lagi pada akhir 1920-an dan awal 1930-an.
Pas masa ini, negara-negara Eropa dihantam depresi besar alias penurunan ekonomi yang ditandai penurunan daya beli, banyaknya perusahaan yang tutup, dan meningkatnya PHK buruh.
Beda dari resesi yang cuma bulanan, jangka waktu depresi lebih panjang atau bertahun-tahun. Makanya masa ini disebut Depresi Besar (Great Depression). Ibarat orang sakit keras. Sembuhnya lama.
Di Hindia Belanda keadaan itu disebut masa malaise atau zaman meleset.
Baca juga:
Depresi Ekonomi Berkah Buat Barang Jepang
Ketika ekonomi negara Barat compang-camping, Jepang justru mulai bangkit. Mereka ambil kesempatan untuk berjaya kembali.
Caranya, memasukkan barang-barangnya ke Hindia Belanda lewat para pedagang toko di Batavia (Jakarta sekarang), Semarang, dan Surabaya.
Harga barang-barang Jepang miring banget. Hebatnya, dari segi kualitas, diklaim masih bisa bersaing dengan barang Eropa.

Enggak pakai lama, barang ini langsung jadi pilihan orang-orang yang waktu itu kesulitan keuangan.
"Memasuki tahun 1930, Jepang mulai mengekspor barang-barang murah ke Indonesia... Barang murah Jepang ini muncul dan telah menolong orang Indonesia," kata Ken'Ichi Goto, sejarawan Jepang, dalam bukunya Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia.
Karena harganya murah, anak-anak sekolah pun lebih memilih barang Jepang. Apalagi para pemilik tokonya punya kepribadian hangat.
"Di kota-kota, terkenal orang-orang Jepang di toko-toko serba ada (warenhuis), karena keramahtamahannya dan sangat hormat," kenang para pelajar Indonesia yang pernah mengalami masa itu dalam buku Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang.
Sebuah toko Jepang bernama Okamura sampai berani kasih bonus.
“Siapa belanja lebih dari f.1 (dibacanya 1 florin, satuan mata uang zaman kolonial) dapat presen barang bagus,” begitu iklannya di depan toko.
Harga f.1 itu hampir kira-kira 1 gram emas (f.1,65). Dan harga 1 gram emas sekarang itu Rp 900 ribu-1 juta.
Wah, siapa enggak tergiur?
Saking hype-nya barang Jepang masa itu, majalah Pandji Poestaka mencatatnya.
“Datang pula zaman meleset, di mana-mana orang tak beruang. Dan barang Jepang yang murah, yang bertambah lama bertambah baik kualitasnya itu, dengan mudah merebut pasar, mendesak hasil negeri lain,” tulis Pandji Poestaka, 30 September 1932.
Selain murah, barang Jepang juga berfungsi untuk menjamin stabilitas pasar penduduk anak negeri, sebab harganya masih bisa terjangkau dan terkendali. Enggak fluktuatif atau turun naik.
Pedagang tetap bisa untung meskipun kecil.
Baca juga:
Pendapat Tokoh Pergerakan Nasional tentang Barang Jepang
Beberapa pemimpin organisasi pergerakan nasional, seperti Sukarno, juga ikut memuji barang-barang Jepang. Dia mengatakan, saat rakyat hanya bisa hidup pas-pasan, Jepang telah membantu meringankan penderitaan itu.
“Japan telah memasukkan barang-dagangan di Indonesia yang murah-keliwat-murah. Japan di mata saudara ini adalah suatu deus ex machina, suatu dewa penolong yang datang dari langit, bagi Marhaen yang kini begitu kekurangan uang,” kata Sukarno dalam “Impor dari Japan Suatu Rahmat bagi Marhaen?” termuat dalam Bung Karno dan Ekonomi Berdikari.
Barang Jepang pun mulai menggeser posisi barang Eropa.

“Karena waktu itu sedang zaman malaise (krisis), barang murah Jepang gampang memperoleh pembeli di kalangan penduduk pribumi,” kisah Rosihan Anwar, mantan tokoh pers, dalam “Penetrasi Ekonomi dan Intel Jepang ke Hindia Belanda sebelum Perang Pasifik”, termuat dalam Musim Berganti Sekilas Sejarah Indonesia 1925–1950.
Meski banyak orang Indonesia gandrung barang Jepang, Sukarno memberi peringatan terhadap kemungkinan bahaya di balik serbuan barang Jepang.
Sukarno menceritakan ulang bagaimana barang-barang dari Belanda sebelum ini menyerbu Hindia Belanda. Misalnya ketika kain dari Twente merajai pasaran.
Orang-orang langsung terpikat dengan kain Twente sampai lupa pada kain buatan tangan anak negeri. Akibatnya produsen kain dalam negeri menderita karena tak ada orang mau membeli produknya.
“Inilah buntut daripada impor dari Twente itu: kita punya daya menghasilkan jadi mati sama sekali, kita punya daya cipta alias kepandaian dan kemauan membikin padam sama sekali, hancur sama sekali, binasa sama sekali!”
Baca juga:
Sejarah Awal Mula Ambisi Jepang di Asia, Perluasan Wilayah ke Selatan yang Bikin Sengsara Indonesia
Kritik dan Babak Akhir untuk Barang Jepang
Sukarno bahkan menyebut impor murah barang Jepang sebagai pintu gerbang imperialisme Jepang di Hindia Belanda.
Dia menduga barang Jepang masuk dengan deras ke Hindia Belanda karena ada pemboikotan dari China. Saat itu, Jepang dan China memang sedang bersaing.
Jepang lalu mengarahkan barang itu ke Hindia Belanda.
Sukarno juga melihat barang murah itu akan jadi alat imperialisme. Seperti pernah terjadi pada impor kain Twente.
“Awaslah awas, bahwa barang-barang itu adalah barangnya stelsel (sistem) yang sebenarnya musuh kamu," Sukarno mewanti-wanti.
"Barangnya stelsel-setan yang di dalam hakikatnya tiada maksud lain melainkan mengeksploitasi tiap-tiap sen yang kini masih ada di dalam kantongmu, mengeksploitasi tiap-tiap tenaga yang kini masih ada di dalam bahu dan tubuhmu.”

Meski bisa jadi alat imperialisme, barang Jepang tak sepenuhnya ditolak oleh Sukarno. Dia mempersilakan rakyat tetap membelinya jika enggak punya pilihan.
Menurut Sukarno, keadaan itu adalah penerimaan sementara terhadap imperialisme dan kapitalisme.
“Terimalah impor Japan itu, tetapi janganlah puja-puji dan keramatkan dia, janganlah pandang dia sebagai suatu rahmat yang hanya membawa berkah saja,” kata Sukarno.
Selain Sukarno, Soebadio Sastrosatomo, teman dekat Sutan Sjahrir, juga bersikap kritis dengan serbuan barang Jepang.
Bagi Soebadio, mutu barang Jepang masih setingkat di bawah barang Eropa.
"Barang buatan Jepang memang terasa dekat oleh kita, namun dirasakan nomor dua," kata Soebadio, seperti diceritakan ulang oleh Ken'Ichi Goto.
Pemerintah Hindia Belanda pun enggak tinggal diam dengan serbuan barang Jepang.
Supaya industri dalam negeri dan barang dari Eropa enggak semakin terpuruk, mereka membatasi barang Jepang lewat Ordonansi (Undang-Undang) Darurat tentang Pembatasan Masuknya Impor dan Orang Asing pada 1933.
Sejak itu, barang Jepang mulai bisa dikendalikan.
Dari sejarah ini, kelihatan kan bahwa apa yang sekarang kejadian bukan sesuatu yang selalu baru. Dari situ pula kita bisa belajar bagaimana bersikap kalau sudah kecanduan banget sama barang luar negeri.
Kalau kamu sendiri, suka barang luar atau local pride? (dru)
Baca juga:
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
15 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Hari Penting dan Fakta Menariknya

13 September Memperingati Hari Apa? Ini 7 Peringatan dan Fakta Menarik di Baliknya

12 September Memperingati Hari Apa? Peristiwa Bersejarah hingga Perayaan Unik Dunia

9 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Fakta Mengejutkan

7 September Memperingati Hari Apa? Munir Meregang Nyawa di Udara

6 September Memperingati Hari Apa? Ini Daftar Perayaan dan Fakta Uniknya

5 September Memperingati Hari Apa? Ini Daftar Peringatan dan Peristiwa Pentingnya

4 September Memperingati Hari Apa? Ini Fakta Menarik yang Jarang Diketahui

Ketua DKJ Tegaskan Perusakan Benda dan Bangunan Bersejarah Adalah Kejahatan Serius yang Melampaui Batas Kemanusiaan

2 September Memperingati Hari Apa? Ini Fakta Uniknya
