Benarkah Gus Dur Berdarah Tionghoa?


Foto: viva.co.id
MerahPutih Nasional- Presiden Republik Indonesia ke-4, KH. Abdurrahman Wahid secara terbuka pernah mengakui bahwa dirinya berdarah Tionghoa. Presiden yang akrab disapa Gus Dur mengaku berdarah Tionghoa bermarga Tan.
Gus Dur yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengaku sebagai keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok saudara kandung Raden Fatah (Jin Bun) pendiri Kesultanan Demak.
Tan A Lok sendiri adalah anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais di identifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Kemudian pada tanggal 10 Maret 2004, Gus Dur didapuk sebagai Bapak Tionghoa. Penganugerahan tersebut dilakukan di Klenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, Semarang, Jawa Tengah yang dikenal sebagai kawasan Pecinan. Saat diberikan gelar kehormatan Gus Dur mengenakan baju congsan, sebuah baju kebesaran Tionghoa.
Adalah Sumato Al Qurtuby penulis buku Arus Cina-Islam-Jawa dalam sebuah artikelnya yang dimuat di harian terkemuka Jawa Tengah, Suara Merdeka, menjelaskan bahwa Tan Kim han adalah seorang tokoh muslim Tionghoa pada abad ke 15/16 yang diutus Jin Bun (Raden Fatah) untuk mengadakan revolusi politik dengan Kekaisaran Majapahit.
Lalu, apakah sosok Tan Kim Ham yang diklaim Gus Dur sebagai leluhurnya apakah tokoh fiktif atau betul-betul nyata? Tidak mudah untuk membuktikan klaim tersebut. Karena itu pengakuan terbuka yang disampaikan Gus Dur bahwa dirinya berdarah Tionghoa kental dengan muatan politis. Terlebih ucapan tersebut disampaikan Gus Dur pada tahun 1998, disaat kondisi politik bangsa Indonesia mengalami perubahan radikal. Indonesia memasuki era reformasi yang disertai dengan pesta pora perusakan dan krisis ekonomi mendalam.
Baca Juga: Gus Dur Lebih Memilih Hadiri Undangan Khitanan Dari Pada Acara Partai
Dalam kondisi demikian, sebagian peranakan Tionghoa lebih memilih meninggalkan tanah air dan bermukim di luar negeri.
"Tetapi lepas dari ada tidaknya nuansa politis atas klaim Gus Dur sebagai "berdarah" Tionghoa, harus diakui dia adalah salah satu tokoh nasional yang berani "pasang badan" atas tindakan diskriminatif Tionghoa yang dilakukan, terutama oleh rezim Orde Baru," kata Sumanto Al Qurtuby.
Sumanto melanjutkan, dari segi politis bangsa Tionghoa memang membutuhkan patron tokoh nasional yang berjiwa universal, berpandangan luas, melindungi segenap kelompok dan etnis diseluruh tanah air. Dalam konteks itulah Gus Dur dinilai mampu menciptakan "rasa aman", karena ketokohan dan perjuangannya melintasi batas-batas etnis dan kebudayaan.
Penderitaan tiada akhir yang mereka alami sejak zaman kolonialisme Belanda telah membuka mata bangsa Tionghoa akan pentingnya tokoh politik yang berwawasan "lintas kebudayaan". Sejak peristiwa Chinezenmoord (pembantaian orang-orang China) di Batavia 1740, kemudian pemberontakan Kudus 1918, telah menimbulkan luka yang dalam pada diri masyarakat Tionghoa. Ironisnya setelah Indonesia merdeka, terjadi lagi peristiwa rasial anti-Tionghoa yang formal dilakukan oleh negara dalam bentuk PP No 10/1960.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 itu kemudian berbuntut panjang, dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963 yang dilakukan oleh Militer Angkatan Darat. Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 juga dijadikan sebagai alat untuk "membersihkan" segala hal yang berbau Tionghoa. Puncaknya, pada Mei 1998 kembali terjadi peristiwa memilukan di negeri ini.
Kemudian saat Gus Dur menjadi Presiden, ia segera mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang berisi larangan segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China yang dilakukan di Indonesia.
"Pencabutan Inpres yang diskriminatif seraya penerbitan Keppres yang lebih "manusiawi" oleh masyarakat Tionghoa dianggap sebagai "angpau" yang tiada ternilai harganya. Dilihat dari perspektif tersebut, penganugerahan Gus Dur sebagai "Bapak Tionghoa" adalah hal yang wajar," sambung Sumanto yang juga Direktur Eksekutif The Institute of Cross Religion and Humanity.
Seiring dengan itu, Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden No 6/2000 yang memperbolehkan bangsa Tionghoa mengekspresikan kebudayaan termasuk kebebasan menjalankan agama di Indonesia. Pada saat kepemimpinan Gus Dur, Konghucu yang merupakan agama leluhur bangsa Tionghoa mendapatkan tempat yang sama bersanding dengan agama-agama lain. (bhd)
Bagikan
Berita Terkait
Pemprov DKI Setuju dan Dukung Pendirian Musem Gus Dur di Jaksel

Umat Buddha Gelar Buka Puasa Bersama untuk Umat Muslim saat Ramadan 1446 H di Vihara Dharma Bakti

Warga Etnis Tionghoa Berburu Pernak-pernik Jelang Perayaan Imlek 2025

Komunitas Tionghoa Curhat ke RIDO, Jakarta Harus Punya Gedung Opera Kesenian

Bertemu Komunitas Tionghoa, Ridwan Kamil Pamer Punya 20 Karya di China

Memahami Makna di Balik Angka 8 dalam Kepercayaan Masyarakat Tionghoa

Lampion dan Dekorasi Naga Warnai Kota Solo

Prabowo Klaim sebagai Jenderal Tukang Pijat Gus Dur dan Cocok dengan NU

Partai Demokrat Yakin Keluarga dan Pendukung Gus Dur Merapat ke Prabowo

Akulturasi Budaya Cirebon dan Tionghoa dalam Festival Pecinan Cirebon
