AI dan DNA dapat Prediksi Masalah Kesehatan Mental setelah Trauma


Para ilmuwan menghitung skor risiko metilasi menggunakan pembelajaran mesin AI. (freepik/rawpixel.com)
THE Center for Biomarker Research and Precision Medicine di Virginia Commonwealth University, AS mengumumkan studi baru yang diterbitkan di Molecular Psychiatry yang menunjukkan bagaimana kombinasi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan genomik dapat menghasilkan biomarker DNA yang mampu memprediksi masalah kesehatan mental hampir 17 tahun setelah terpapar trauma pada masa kanak-kanak.
Trauma masa kanak-kanak dinilai dari peristiwa yang memenuhi kriteria gangguan stres pasca-trauma DSM di Child and Adolescent Psychiatric Assessment (CAPA) dan Young Adult Psychiatric Assessment (YAPA) dari ratusan anak berusia 9-13 tahun yang berpartisipasi. Studi yang berlangsung 30 tahun itu diprakarsai oleh Duke University dan North Carolina Department of Health and Human Services yang disebut Great Smoky Mountain Study (GSMS). Contoh darah dan data klinis dikumpulkan pada setiap gelombang.
Baca Juga:

Lebih dari 970 contoh darah digunakan dari lebih dari 480 peserta yang memberikan lebih dari 670 contoh sebelum mencapai usia 21 tahun, bersama dengan subset lebih dari 300 peserta yang memberikan contoh pada masa dewasa.
"Kami memprediksi dari metilasi DNA hasil orang dewasa dan menemukan beragam hasil seperti depresi orang dewasa, kecemasan, penyalahgunaan alkohol, kecanduan nikotin, kemiskinan, masalah sosial, dan masalah medis," kata peneliti utama studi Edwin van den Oord, PhD, seorang ahli genetika psikiatri Belanda, dan Direktur di Pusat Penelitian Biomarker dan Pengobatan Presisi di Virginia Commonwealth University.
Penyakit neuropsikiatri dan kanker telah dikaitkan dengan perubahan metilasi DNA. Dalam genom manusia ada 28 juta situs di mana metilasi dapat terjadi menurut van den Oord.
“Kami tahu di mana semua SNP (single nucleotide polymorphisms) berada dan kami mengambil genom referensi manusia dari proyek Human Genome dan mencari situs CG, dan kemudian kami memasukkan semua SNP,” kata van den Oord.
Baca Juga:

Pemecahan DNA
Genetika adalah cabang biologi yang mempelajari gen, variasi genetik, dan hereditas pada organisme hidup. DNA, asam deoksiribonukleat, adalah materi herediter pada manusia dan sebagian besar organisme di mana informasi disimpan sebagai kode yang terdiri dari empat basa kimia: adenin (A), guanin (G), sitosin (C), dan timin (T).
DNA dapat dimodifikasi oleh faktor lingkungan, perubahan epigenetik, yang dapat mengubah ekspresi gen. Metilasi DNA, proses penambahan gugus metil ke basa DNA, merupakan modifikasi epigenetik. Mengingat bahwa metilasi sering terjadi di situs CpG, atau situs CG, para peneliti menentukan area dalam genom manusia di mana situs ini ada. Secara khusus, mereka mengidentifikasi daerah DNA di mana nukleotida sitosin diikuti oleh nukleotida guanin.
Untuk menentukan semua kemungkinan situs yang dapat dimetilasi pada sebagian besar orang, para peneliti memulai dengan mengidentifikasi situs CpG dalam genom referensi manusia dari proyek Human Genome.
“Kami memecah DNA dan mengubahnya menjadi potongan-potongan kecil seperti 100 pasangan basa, dan kemudian mengurutkannya. Dan sekarang kita tahu urutan semua fragmen kecil ini. Dan kemudian kita perlu menyelaraskannya dengan genom referensi. Jika sesuatu sejajar dengan lokasi yang memiliki CpG, maka kami menghitung untuk situs itu berapa banyak metilasi yang terjadi,” kata van den Oord.
Para ilmuwan menghitung skor risiko metilasi menggunakan pembelajaran mesin AI. Dalam AI, regresi linier Elastic Net adalah metode yang menggabungkan metode Lasso (Least Absolute Shrinkage and Selection Operator) dan metode regresi Ridge.
Kemampuan prediksi skor risiko metilasi yang dihasilkan oleh algoritma AI lebih tinggi daripada trauma yang dilaporkan dan tidak dapat dijelaskan oleh trauma yang dilaporkan, korelasi dengan variabel demografis, atau kontinuitas masalah kesehatan yang diprediksi dari masa kanak-kanak hingga dewasa.
Menurut para peneliti, skor risiko metilasi memprediksi berbagai hasil yang merugikan dan memiliki potensi untuk server sebagai biomarker klinis untuk mengevaluasi risiko kesehatan dari paparan trauma. (aru)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Harga Huawei Pura 80 Series di Indonesia, Segera Rilis dengan Desain Elegan dan Baterai Tahan Lama

Huawei Pura 80 Ultra Punya Kamera Telefoto Ganda, Bisa Zoom Jarak Jauh Tanpa Buram!

Desainnya Bocor, Samsung Galaxy S26 Pro Disebut Mirip Seri Z Fold

iPhone 17 Pro dan Pro Max Pakai Rangka Aluminum, Kenapa Tinggalkan Titanium?

Samsung Sedang Kembangkan HP Lipat Baru, Bakal Saingi iPhone Fold

Sense Lite, Inovasi Baru JBL dengan Teknologi OpenSound dan Adaptive Bass Boost

Chip A19 dan A19 Pro Milik iPhone 17 Muncul di Geekbench, Begini Hasil Pengujiannya

Xiaomi 16 Pro Bisa Jadi Ancaman Buat Samsung Galaxy S26 Pro, Apa Alasannya?

OPPO Find X9 dan X9 Pro Bakal Hadir dengan Baterai Jumbo, Meluncur 28 Oktober 2025
