Setelah Lewati Masa Suram, PGB Bangau Putih Rebut Kembali Kejayaan
Sabtu, 03 Maret 2018 -
MEMASUKI tahun 1965, situasi dan kondisi politik Indonesia semakin memanas. Hal tersebut ternyata berimbas kepada eksistensi Persatuan Gerak Badan (PGB) Bangau Putih. Bahkan guru besar perguruan tersebut, Encek Bacih sempat frustrasi.
Tahun demi tahun Encek Bacih lalui dengan bayangan beban-beban perguruan. Setidaknya, berdasarkan tulisan Alex Cheung di dalam buku Melacak Jejak Kungfu Tradisional di Indonesia menjelaskan, masa pedih itu terpaksa dirasakan Encek Bacih hampir kurang 6 tahun.
"Setelah mengalami masa-masa sulit itu, Encek Bacih akhirnya meraih kembali masa-masa kejayaannya. Pada 21 Agustus 1971, PGB Bangau diundang ke Senayan, Jakarta, untuk mendemonstrasikan gerakan bela diri mereka," tulis Alex Cheung dalam bukunya.
Pada 21 Maret 1972, Lim Sin Tjoei atau Encek Bacih meresmikan 18 pewaris alias 18 Ban yang dilatih secara khusus selama 3 tahun, dan ditargetkan untuk menjadi pewaris seluruh ilmunya. Delapan belas orang pewaris ini juga mengucap sumpah setia kepada guru dan perguruan.
Selain itu, Alex Cheung juga menuliskan, pada 4 Desember 1972 Bengkel Teater mengundang Lim Sin Tjoei dan keluarga besar PGB Bangau Putih untuk mendemonstrasikan keahliannya di Pantai Parang Tritis, Yogyakarta.
"Hasil dari pertunjukan keahlian itu disambut dengan kunjungan balik WS Rendra (sastrawan sekaligus pendiri Bengkel Teatre) pada tanggal 1 Januari 1973, di mana ia mengajukan diri untuk bergabung dengan PGB Bangau Putih," tulis Alex Cheung dalam bukunya tersebut.
Pada 1974, Encek Bacih kembali membentuk sebuah kelompok. Namanya 41 Warga Perguruan. Tugas kelompok itu untuk mengurus kepentingan perguruan.
Sama seperti kelompok 18 Pewaris, seluruh anggota kelompok ini juga mengucapkan sumpah setia kepada guru dan perguruan. Para anggotanya menerima jubah dan cincin bergambar burung bangau. Sejak itu, WS Rendra mulai memanggil Encek Bacih dengan sebutan Suhu.
Setelah PPSI bergabung ke dalam IPSI, pada tahun 1976 PGB Bangau Putih resmi menjadi anggota IPSI Bogor dan turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan IPSI.
PGB Bangau Putih di Luar Negeri
Tahun 1976 mulai dibentuk cabang PGB Bangau Putih di luar negeri; Amerika, dan Jerman. Cabang Amerika dipimpin oleh Gunawan Rahardja (putra Encek Bacih), Max Palar, Pat Moffit, dan Robin. Sedangkan cabang Jerman dipimpin oleh Haryanto Tanara.
Pada tahun 1981 Encek Bacih membentuk kelompok 18 Pewaris lainnya yang dikenal dengan sebutan 18 Goan yang juga disumpah setia kepada guru dan perguruan.
Pada tanggal 26-28 Mei 1984 PGB Bangau Putih mengadakan acara riungan yang bertujuan mengumpulkan para pesilat dan anggota PGB Bangau Putih untuk bersatu dan membina keakraban. Acara riungan itu diadakan di Bumi Perkemahan Cibubur yang dihadiri lebih dari 2.000 peserta.
Para tokoh penting seperti Letjen (Purn) Tjokropanolo (mantan Gubernur DKI Jakakrta periode 1977-1982), Mayjen (Purn) Eddie Marzuki Nalapraya (Ketum PB IPSI periode 1978-2003), dan beberapa lainnya turut hadir dalam acara tersebut. Acara riungan itu kemudian ditutup oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Abdul Gafur.
Pada tahun 1982, PGB Bangau Putih diminta oleh Ali Moertopo yang saat itu menjabat Menteri Penerangan Indonesia untuk tampil di TVRI mendemonstrasikan keahliannya.
BACA JUGA: Encek Bacih Pilih Kie Lin sebagai Khas PGB Bangau Putih
Pada periode tahun 1980-an anggota PGB Bangau Putih mencapai 5.000 orang dan memiliki berbagai cabang yang tersebar bukan hanya di Indonesia, tetapi juga mancanegara seperti Amerika, Jerman, Australia, dan Inggris.
Banyak tokoh terkemuka Indonesia yang tercatat sebagai murid Lim Sin Tjoei, di antaranya Adnan Buyung Nasution, WS Rendra, dan Hardi.
Para tokoh ini bergabung dengan PGB Bangau Putih tidak hanya untuk belajar kungfu semata, tetapi juga mempelajari filsafat hidup dari Lim Sin Tjoei. Beberapa tokoh terkenal di Indonesia ada juga yang datang untuk berobat kepadanya. (*)