Sepak Bola Indonesia, Hanya Kolam Susu

Sabtu, 07 Maret 2015 - Fredy Wansyah

MerahPutih Sepakbola - Bukan lautan hanya kolam susu//Kail dan jala cukup menghidupimu//Tiada badai tiada topan kau temui//Ikan dan udang cukup menghampirimu

Begitu Koes Plus mengungkap kekayaan Indonesia. Bayangkan, megahnya kekayaan Indonesia diwakili dengan frasa "kolam susu". Di atas Tanah Air Indonesia luas, melalui frasa "bukan lautan", Koes Plus ingin menyampaikan bahwa kekayaan pun bukanlah kekayaan yang ukurannya seonggok.

Dengan alat yang tepat dan instrumen pengelolaan yang tepat, kita sebagai penghuni Indonesia dapat dibilang mudah mencari makan. Kita bisa hidup sejahtera. Kemewahan dapat membuat kita kaya. Persoalan ialah bagaimana kita mengelola seefektif mungkin.

Dari stuasi itu, untuk menjadi masyarakat sejahtera (homo economicus) kita tak akan menemui rintangan. Terbilang mudah, tiada topan dan tiada badai.

Ihwal kekayaan itu, bagi Koes Plus, hanya sebatas alam. Band legendaris tersebut tak menyinggung, atau memang tahu sehingga enggan memaparkan, ihwal sumber daya manusia Indonesia. Salah satunya sumber daya manusia dunia sepak bola.

Prestasi timnas, kompetisi individual, hingga skill individu pemain sepak bola Indonesia terasa hambar. Seumpama makan nasi tanpa lauk pauk. Kenyang tapi tak terasa nikmat. Penuh hidangan nasi tapi hanya satu warna, putih.

Sudah haus di ujung tenggorokan memang prestasi timnas senior Tanah Air. Tak ada juara. Tak ada buah bibir yang mengasyikkan bagi pecinta sepak bola di Tanah Air. Terakhir kali, buah bibir merona dan nikmat hanya terjadi pada momen AFF U-19. Evan Dimas dan kawan-kawan berhasil mengangkangi para pemain Korea Selatan, hingga juara pertama bertahta di timnas asuhan Indra Sjafri tersebut.(Baca juga: Indra Sjafri Tunggu Keputusan BTN Untuk Negara Tempat Pemusatan Latihan)

Apakah Indonesia kekurangan pemain cilik bertalenta atau berbakat? Pertanyaan retoris ini terbantahkan kala kita mengingat gocekan Tristan Alif Naufal mampu mengernyitkan aktor-aktor penting di jagad sepak bola Eropa. Salah satunya Pep Guardiola, yang kagum aksi olahan bola Tristan Alif. Tristan pun ditahbiskan sebagai "Messi Cilik Indonesia" karena kelenturannya mengasah bola. Kita juga teringat nama Dyka Sudaryanto yang bermain di Eropa. Selain itu tentu masih banyak nama lainnya.

Dalam suatu kesempatan wawancara dengan tim pewarta FIFA, tahun lalu, 2014, Alfred Riedl menyatakan, "Saya yakin dengan Indonesia, karena negeri ini punya talenta muda yang belum tergali." Tak jauh berbeda dengan Ridle, Indra Sjafri pun menyatakan bahwa pemain-pemain muda berbakat tersebar di pelosok Tanah Air ini.

Wajar apabila pengurus klub-klub Benua Biru terus berupaya mencari individu bertalenta di Indonesia. Awal tahun 2015, Direktur Komersil Manchester United Jamie Reigle mengunjungi Indonesia. Berbau-bau bisnis, Jamie kagum terhadap pemain cilik bertalenta. "Indonesia adalah salah satu pasar marketing penting MU. Karena itu, MU akan terus pantau pemain cilik berbakat, dan membawa 11 pemain bertalenta ke Inggris untuk dididik," kata Jamie kepada reporter TV swasta Indonesia.

Di warung-warung kopi, pecinta sepak bola tak jauh berbeda selayaknya kedua pelatih di atas. Mereka selalu berujar, dari 260 juta jiwa sudah barang tentu memiliki banyak potensi pemain cilik bertalenta. Setidaknya jauh lebih banyak dibandingkan, misalnya, Belanda. Masalahnya, "Kenapa banyak pemain cilik bertalenta muncul tapi ketika dewasanya sudah tak terdengar lagi namanya?"(Baca juga: Timnas Disayang PSSI Diganyang)

Masalah ini sudah dinyatakan band yang mendapat sentilan dari Sukarno tersebut, "Hanya Kolam Susu." Kolam susu hanyalah sebatas kolam, tak mampu diolah dan tak mampu difungsikan sebaik mungkin. Begitu pula adanya pemain-pemain cilik bertalenta, tak mampu para pemain cilik tersebut diolah agar kelak menjadi pemain yang mengharumkan nama Indonesia di ajang sepak bola internasional. (fre)

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan