Sejarah VOC dan EIC Berebut Rempah di Nusantara, Dua Perusahaan Multinasional yang Berperang di Negeri Orang
Rabu, 15 Januari 2025 -
MerahPutih.com - Halo, Guys! Bayangin kamu lagi debat dengan temanmu soal ponsel pintar: mana yang lebih enak dipakai antara iPhone, Samsung, Huawei, Xiaomi, Infinix, atau OPPO? Sengit pastinya!
Semua merk itu dikeluarin oleh perusahaan multinasional besar. Seperti kamu yang saling berdebat, perusahaan itu juga sibuk ngecap jadi yang terbaik.
Persaingan mereka enggak cuma soal teknologi atau harga, tapi juga sampai ke iklannya. Kadang-kadang malah saling sindir sampai ngenyek.
Nah, jauh masa sebelum kamu lahir, persaingan perusahaan multinasional juga pernah terjadi. Tapi waktu itu bukan tentang ponsel, melainkan rempah-rempah yang jadi incaran dunia dari abad ke-16 sampai ke-18!
Bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Prancis sikut-sikutan membeli rempah dari Maluku dan tempat lainnya di Nusantara. Lalu mereka jual lagi dengan harga mahal di pasaran Eropa.
Perdagangan rempah orang Eropa di Nusantara dijalankan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Jadi, enggak selalu negaranya langsung yang berdagang, ya.
Orang Portugis punya Estado da Ìndia, orang Inggris mendirikan East India Company (EIC), orang Belanda bikin Vereenigde Oostindie Compagnie (VOC), orang Prancis membentuk French East Indian Company, dan orang Spanyol pakai bantuan dari rajanya.
Tapi dari sekian persaingan bangsa Eropa itu, yang paling sengit adalah VOC lawan EIC.
Mengapa? Yuk, simak ceritanya.
Baca juga:
Awal Persaingan VOC dan EIC Berebut Rempah
Persaingan ketat VOC dan EIC bermula dari bocornya rahasia besar orang Portugis. Mereka bangsa Eropa pertama yang tahu peta jalur rempah menuju Kepulauan Maluku, tempat rempah-rempah yang laris di pasaran Eropa pada abad ke-16. Supaya enggak ada saingan, mereka sembunyikan jalur rempah itu.
Namun, ada satu biang kerok yang namanya Jan Huygen van Linschoten, orang Belanda yang menyamar jadi anggota gereja di perusahaan dagang Portugis.
Dari penyamaran lima tahun sepanjang 1583-1588, Linschoten berhasil mengambil peta menuju Kepulauan Hindia Timur, nama lama Indonesia. Terus, dia sebarkan rahasia itu ke sesama orang Belanda.

Berbekal bocoran peta itu, Oude Compagnie van Verre, perusahaan dagang Belanda pendahulu VOC, bisa berlayar sampai ke Banten pada 23 Juni 1596.
Waktu itu Banten, seperti beberapa pelabuhan lain di Jawa, adalah pelabuhan penting dalam jalur rempah Nusantara, Asia, dan Eropa. Tapi Banten bukanlah penghasil rempah-rempah seperti pala, lada, dan cengkih.
Oude Compagnie van Verre balik lagi dengan delapan kapal ke Banten di bawah Laksamana Jacob van Neck pada 25 November 1598. Dia sukses bawa pulang rempah, tapi masih enggak tahu jalur menuju Maluku.
Lalu ada moment of truth ketika beberapa kapal dari rombongan van Neck enggak ikut balik.
“Empat kapal di bawah komando bersama dari Laksamana Muda Wijbrand van Warwijck dan Jacob van Heemskerk mengikuti jejak orang Portugis lebih jauh ke timur,” kata Willard A Hanna dalam buku Kepulauan Banda : Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala.
Warwick sampai di Hitu, Ambon. Sedangkan van Heemskerk berhasil tembus ke Banda. Inilah untuk kali pertama orang Belanda tahu rute ke Maluku.
Mereka lalu pulang ke Belanda dengan membawa rempah-rempah langsung dari tempat produksinya. Mereka disambut kayak pahlawan.
Setelah tahu jalur ke Maluku, perusahaan-perusahaan dagang Belanda sepakat bergabung bikin perusahaan besar yang namanya VOC pada 20 Maret 1602. Agak telat dua tahun dari orang Inggris yang duluan bikin EIC di London pada 31 Desember 1600.
EIC juga lebih cepat dalam menjalin hubungan baik dengan orang-orang di Pulau Ai dan Pulau Run sejak 1601. Dua pulau itu adalah penghasil pala yang terletak tak jauh dari Pulau Banda.
Baca juga:
Beda Strategi VOC dan EIC di Nusantara
EIC punya strategi bagus buat meraih simpati penduduk: membeli rempah lebih mahal dan menjual dagangan yang mereka bawa dengan harga lebih murah. Cara ini beda dari cara orang Belanda.
“Dalam soal dagang, kesalahan orang Belanda ialah memberi terlalu sedikit, dan meminta terlalu banyak,” sebut Willard A Hanna.
Hasilnya, penduduk lebih menerima kehadiran orang-orang Inggris ketimbang orang Belanda.
VOC enggak diam. Mereka mengirim rombongan 13 kapal dan 1.500 awak ke Banda pada 1605. Salah satu tujuannya buat mengusir orang Inggris dan Portugis dari Maluku di Nusantara.

“Sejak berdirinya, VOC sudah mempersiapkan diri untuk peperangan, terutama melawan musuh-musuhnya di Eropa. Pertama melawan Portugis dan Spanyol, setelah itu EIC,” kata Mohammad Iskandar, pengajar Sejarah Ekonomi Bisnis pada Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, kepada penulis pada 2014.
Meski tahu tujuan VOC ingin menguasai (monopoli) rempah, EIC enggak mau menyingkir begitu saja. Mereka bertekad bertahan di Banda, Ai, dan Run apapun caranya: baik lewat perundingan ataupun peperangan.
Sebenarnya VOC dan EIC sempat berunding beberapa kali di Banda, tapi enggak berhasil mencapai kesepakatan.
Petinggi VOC akhirnya menempuh cara kekerasan dengan menyerang kapal Inggris pada 1617 dan 1618.
Karena kalah armada dan logistik dari VOC, EIC minta bantuan penguasa lokal yang berhubungan baik dengan mereka.
“EIC telah menyuplai senjata kepada penguasa lokal,” kata Robert Parthesius dalam buku Dutch Ships in Tropical Waters.
Sementara VOC gagal merawat hubungannya dengan penguasa lokal. Perjanjian VOC dengan penguasa lokal sering banget bermasalah. EIC memanfaatkan celah ini.
“Di mana pun Belanda mengalami kesulitan dengan orang Indonesia, orang Britania berlagak menjadi sahabat baik untuk ‘penduduk asli tertindas yang malang’, menyarankan kepada mereka untuk mengakui kedaulatan raja Inggris sebagai perlindungan terbaik dari ‘Belanda yang jahat’,” cerita Bernard Vlekke dalam buku Nusantara.
Baca juga:
Sejarah Program Makan Bergizi Zaman Sukarno, Menggugah Kesadaran Gizi Anak Sekolah
Dampak Persaingan VOC dan EIC di Nusantara
Namun VOC enggak gentar berhadapan dengan EIC dan penguasa lokal.
Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal atau pemimpin VOC di Asia tahun 1619, yakin bahwa VOC harus melenyapkan dua pihak sekaligus demi kelancaran perdagangan rempah.
“Perdagangan mustahil terjaga tanpa perang. Sebaliknya, tak ada kemunculan perang tanpa perdagangan,” kata Coen, seperti diceritakan oleh James D Tracy dalam buku The Political Economy of Merchant Empires.
Coen menyerang EIC dan penguasa lokal Banda pada Maret 1620 tanpa persetujuan bos-bosnya yang lebih tinggi di Amsterdam. Bos-bos itu disebut sebagai Heeren Zeventien (Tuan 17 Belas).

Pas perang meletus, utusan VOC dan EIC tiba di Banda. Mereka datang dari London dengan menempuh perjalanan selama 9 bulan yang dimulai jauh sebelum perang.
Utusan itu mengabarkan bahwa Heeren Zeventien dan Gentlemen Adventurers (bos-bos EIC di London) telah bersepakat pada 17 Juli 1619 untuk membangun kerja sama perdagangan rempah (kartel).
“Kesepakatan 1619 memutuskan EIC boleh mengambil sepertiga perdagangan rempah di Maluku, Banda, dan Ambon. Sementara untuk perdagangan lada di Jawa, EIC berhak atas setengahnya,” catat Femme S Gaastra dalam artikelnya “War, Competition, and Collaboration” dalam buku The World of the East India Company.
Namun, Coen mengabaikan kesepakatan itu. Dia bilang Heeren Zeventien pengecut dan telah menjual diri ke Gentleman Adventurers.
Coen berpendapat orang Inggris lebih gampang diurus kalau dianggap sebagai musuh daripada orang Inggris sebagai sekutu.
Serangan Coen menyebabkan ratusan penduduk Pulau Run dan Ai dan puluhan pegawai EIC gugur dalam perang. Beberapa lainnya mati di tiang gantung dan pedang algojo VOC.
EIC akhirnya kalah. Mereka menyingkir dari Pulau Run dan Ai. Mereka baru menerima ganti rugi dari VOC berupa Pulau Nieuw Amsterdam (New York sekarang) pada 1667 melalui Perjanjian Breda.
Baca juga:
Perdebatan Libur Puasa Anak Sekolah, Pola Sejarah yang Berulang
VOC Mengejar EIC ke Ambon dan Banten
Meskipun sudah keluar dari Banda, EIC masih diusik oleh VOC. Kedudukan EIC di Ambon diganggu pada 1623.
VOC menyiksa dan membunuh sejumlah pegawai EIC atas tuduhan terlibat dalam rencana menduduki kota dan membunuh orang Belanda.
VOC menjadikan pembunuhan di Ambon sebagai peringatan bagi saingannya.
“…Ini menunjukkan betapa seriusnya VOC dalam mewujudkan monopoli rempahnya,” tulis KN Chaudhuri dalam buku Trade and Civilisation in the Indian Ocean.
Pegawai EIC ketakutan mendengar perilaku VOC. Mereka juga tahu, dari segi modal dan armada laut, EIC kalah jauh dari VOC.

Menurut JD Vries dalam buku Economy of Europe in Age of Crisis, VOC berhasil mengakumulasi modal 10 kali lipat lebih banyak ketimbang EIC sepanjang paruh pertama abad ke-17 (1620-an).
Sementara kata Femme S Gaastra dalam Ships, Sailors and Spices, armada laut VOC di Asia pada 1620-an berjumlah 141 kapal. Termasuk kapal perang berbagai ukuran. Sedangkan EIC hanya punya 58 kapal di seluruh Asia.
Pegawai EIC yakin bahwa VOC bisa kapan saja mendatangi dan membunuh mereka. Maka mereka pindah ke Banten pada 1628.
Penguasa Banten menerima kehadiran EIC secara baik sepanjang mereka mengikuti aturan.
“Di wilayah selatan perdagangan, Banten telah menjadi tempat terpenting bagi EIC,” tulis KN Chaudhuri dalam The Trading World of Asia and the English East India Company 1660—1760.
Lagi asyik-asyiknya dagang di Banten, EIC harus berhadapan dengan VOC lagi. VOC menyerang Banten demi menjaga bisnis rempah selama 1651—1659. Keuntungan EIC pun berkurang.
Lalu muncul krisis politik atau perebutan takhta di dalam Kesultanan Banten.
VOC mendukung Sultan Muda merebut takhta kesultanan Banten dari ayahnya. Sebagai balasannya, Sultan Muda harus membantu VOC untuk mengusir EIC dari Banten. Koalisi mereka berhasil pada 1682.
“Perdagangan EIC kini beralih ke Sumatera,” kata KN Chaudhuri.
Baca juga:
Manusia sebagai Subjek, Objek, dan Saksi Sejarah, Mengungkap Kisah di Balik Perubahan Zaman
VOC Menangi Monopoli Rempah
EIC bertahan cukup lama di Bengkulu. Sebab, VOC enggak tertarik menduduki wilayah ini.
Persaingan EIC dan VOC di Nusantara mereda memasuki 1700—1750. “VOC telah menjadi pemenang,” tulis Femme S Gaastra.
EIC memilih fokus dagang di India untuk melawan pedagang Perancis, sedangkan VOC menempuh kebijakan baru.
“VOC enggan menggunakan kekuatan militer untuk bersaing dengan pedagang Eropa,” kata Gaastra.

Meski begitu, citra VOC di kalangan orang-orang Eropa sendiri telanjur benar-benar jelek.
Orang Perancis bernama Jean Baptiste Tavernier menulis dalam catatan hariannya kesan tentang orang-orang VOC.
"Aku tahu bahwa bangsa ini telah mencapai kejayaan melalui pelayaran dan persenjataan, bahkan Belanda telah memberi banyak sumbangan terhadap kebangkitan kembali seni dan kesusastraan...
Walaupun demikian, harus diakui bahwa ketamakan akan kekuasaan yang begitu hebat melanda rakyat Belanda kadangkala membuat mereka melakukan kesalahan besar, dan bahwa nafsu gasang (ngebet) mereka menyingkirkan bangsa-bangsa lain dari perdagangan telah mendorong mereka ke jurang kehancuran," begitu kesaksian Tavernier pada 1681 yang dicatat dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis.
Jadi, guys, dari kisah persaingan VOC dan EIC ini, kita bisa lihat bahwa nafsu menguasai rempah-rempah bikin susah banyak orang.
Kalau kamu jadi orang lokal waktu itu, apa yang kira-kira bakal kamu lakukan ke VOC dan EIC? (dru)
Baca juga:
Apa sih Guna Sejarah? Dari Mengangkat Orang-Orang Kecil sampai Fondasi untuk Bangun Masa Depan