Sejarah Anak-Anak Muda Indonesia Cari Jodoh, Belajar Aspek Diakronis Jadi Lebih Asyik
Jumat, 10 Januari 2025 -
MerahPutih.com - Halo, Guys! Pernah enggak kamu bertanya kepada kedua orangtuamu bagaimana mereka bertemu, jatuh cinta, kemudian berani menikah, dan akhirnya melahirkan kamu?
Beberapa fragmen cerita orangtuamu itu bagian dari sejarahmu. Juga bagian dari sejarah yang lebih besar. Misalnya ketika orangtuamu bertemu, jatuh cinta, lalu menjalin hubungan, itu jadi bagian dari perkembangan interaksi atau hubungan lelaki dan perempuan di Indonesia yang berujung pada perjodohan.
Kamu mungkin bakal kaget kalau mendengarkan cerita orang-orang jadul tentang bagaimana lelaki dan perempuan berinteraksi dan mengejar jodoh. Enggak sebebas kayak hari ini. Semua melalui proses panjang hingga akhirnya kaum muda menentukan jodohnya sendiri. Tsah!
Nah, kali ini tim Redaksi MP bakal bawa kamu bahas hal yang asyik banget ini, yaitu bentuk-bentuk pencarian jodoh di Indonesia. Ini ada kaitannya dengan bahasan aspek diakronis dalam sejarah.
Masih ingatkan apa yang dimaksud diakronis?
"Sejarah disebut ilmu diakronis, sebab sejarah meneliti gejala-gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas," begitu kata Kuntowijoyo dalam Penjelasan Sejarah.
Contoh gampangnya dalam bahasan kali ini kita bakal melihat bagaimana bentuk pencarian jodoh dari masa Kerajaan Hindu-Budha sampai masa modern. Panjang kan? Tapi pembahasan gejala itu hanya di Indonesia (ruang). Artinya enggak seluruh dunia. Sempit kan?
Karena bahasannya memanjang dalam waktu, maka untuk memudahkan penjelasan, kita bakal membahasnya secara berurutan alias kronologis. Dari yang paling jadul sampai yang paling dekat dengan zaman kita.
Enggak ada sisipan flashback ya. Nanti jadi kayak film.
Yuk mulai!
Baca juga:
Perdebatan Libur Puasa Anak Sekolah, Pola Sejarah yang Berulang
Dari Sayembara ke Pelaminan
Kita bertualang ke Candi Siwa di kompleks Candi Prambanan, Yogyakarta. Relief atau pahatan bergambar di candi yang berasal dari masa Hindu-Budha abad ke-9 M ini ternyata memuat cerita bagaimana orang-orang penting mencari jodoh pada zamannya.
Kisah dalam relief mengangkat pertemuan antara Rama dan Sita, dua tokoh dalam epos Ramayana. Ada sebuah sayembara kemahiran memanah dari Raja.
Pemenang sayembara berhak menikahi puteri Raja, yaitu Sita. Rama, salah satu tokoh lelaki dalam Ramayana, mengikuti sayembara dan menang. Dia lalu menikahi Sita di Kerajaan Ayodhya, kerajaannya Rama.

Dari adegan itu, kelihatan jelas banget mereka tak bisa menikah semaunya. Ada rintangan sosial, agama, dan politik yang harus mereka lampaui sebelum bisa meraih keinginan mereka.
Buat paham lebih dalam perjodohan masa Hindu-Budha, kita tanya ke seorang arkeolog kenalan redaksi yuk! Nama narasumber kita adalah Risa Herdahita, lulusan jurusan arkeologi Universitas Gajah Mada.
Kata Risa, perjodohan masa itu masih terikat kasta. “Sebenarnya kalau masa Hindu-Buddha itu terikat sama kasta. Ada aturan di kitab Agama. Kalau yang beda kasta, enggak boleh kawin.”
Risa nambahin, buat para pembesar, rintangan itu bertambah dengan adanya faktor politis. Keluarga kerajaan harus mempertimbangkan keuntungan dan kelemahan pernikahan anggota mereka dengan anggota kerajaan lain.
Orangtua atau sesepuh kerajaan punya pengaruh besar dalam menentukan calon suami atau istri anggota keluarganya. Mereka tak menyerahkan pemilihan jodoh pada anak-anaknya. Boleh dibilang perantara jodoh masa ini adalah para orangtua.
Biarpun perjodohan diatur oleh orangtua, ternyata pergaulan antara lelaki dan perempuan masa ini relatif bebas dan terbuka banget. Relief-relief candi menunjukkan adanya adegan pangku-memangku antara orang-orang yang belum menikah.
Contohnya relief di Candi Panataran, Jawa Timur, yang memuat adegan pertemuan seorang lelaki bernama Panji dan kekasihnya.
“Dalam puncak asmara, keduanya saling bermesraan. Panji memangku kekasihnya, meremas payudaranya,” ungkap Risa.
Aduh... Tapi ini bahasan sejarah ya. Jadi, kita harus sampaikan apa adanya.
Baca juga:
Manusia sebagai Subjek, Objek, dan Saksi Sejarah, Mengungkap Kisah di Balik Perubahan Zaman
Ketatnya Aturan Perjodohan
Beralih ke masa penyebaran Islam (tahun 1500-an), peran orangtua dan keluarga juga masih cukup dominan. Mereka menjaga anak-anaknya dari kemungkinan menikah dengan orang-orang enggak jelas juntrungannya.
“Juga di Asia Tenggara, kalangan elite sedapat mungkin berusaha mencegah anak-anak gadisnya berhubungan dengan pria yang tidak bisa diterima atau oranftua yang meragukan bagi cucu-cucunya,” sebut sejarawan terkenal Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga.
Pada masa Islam, hubungan antara lelaki dan perempuan jauh lebih ketat daripada masa sebelumnya. Berduaan di tempat sepi dihukumi sebagai perbuatan mendekati perzinahan atau dosa.
Biarpun hubungan laki-laki dan perempuan cukup ketat, pernikahan jadi lebih cepat dilakukan. Masa ini, lelaki dan perempuan berusia belasan tahun sudah bisa jadi pasangan suami istri setelah mereka dijodohkan oleh keluarga atau orangtuanya.

Kalau sudah lebih dari usia belasan, tapi belum juga nikah, lelaki dan remaja akan dianggap 'karatan' atau 'expired'. Anak yang telat menikah bukan sesuatu yang bisa dibanggakan oleh keluarga.
Kebanggaan bagi keluarga adalah menikahkan anak-anak mereka dalam usia yang relatif muda setelah masuk masa akil-baligh atau dianggap sudah mencapai dewasa muda.
Terus nih, pas orang Belanda ke Nusantara pada abad ke-17, cara memilih jodoh belum banyak berubah. Orang-orang Belanda juga mempunyai nilai moral untuk pergaulan lelaki dan perempuan.
Pejabat VOC atau Kongsi Dagang Hindia Timur bahkan mengatur secara ketat urusan percintaan dan pernikahan.
Para pemegang saham VOC menyarankan agar orang-orang Belanda di Batavia, nama lama Jakarta, menikah dengan perempuan lokal agar muncul masyarakat campuran yang patuh aturan mereka. Sementara pemimpin VOC, Jan Pieterszoon Coen, melarang hubungan seksual pegawai VOC dengan perempuan lokal.
Pegawai berpangkat rendah enggak bisa menikah tanpa persetujuan atasan. VOC bahkan menghukum keras hubungan percintaan yang dianggap melanggar moral. Sekali pun pelakunya adalah orang Eropa.
Keadaan ini terus bertahan hingga abad ke-19. Pengawasan ketat terhadap pola pergaulan lelaki dan perempuan mencapai puncaknya.
Pengaruh kekuasaan Ratu Victoria di Inggris pada 1837—1901 secara enggak langsung ikut menguatkan norma pergaulan antara lelaki dan perempuan.
Nilai-nilai ini tersebar luas seiring pengaruh Inggris atas beberapa wilayah di Asia dan Eropa.
“Perempuan zaman Victoria diajari untuk tidak pernah mencoba memulai aktiitas seksual. Bahkan sekedar berfantasi seksual pun dilarang! Mereka diajari untuk hidup dalam pengabdian bisu kepada suami, keluarga, dan negara,” kata Ryu Hasan, pakar neurosains, di thread Twitternya.
Baca juga:
Apa sih Guna Sejarah? Dari Mengangkat Orang-Orang Kecil sampai Fondasi untuk Bangun Masa Depan
Menuju Kebebasan Jodoh
Meski begitu, pendidikan Barat jugalah yang mengubah pola pergaulan laki-laki dan perempuan di Hindia Belanda.
“Dibukanya sekolah-sekolah dengan sistem pendidikan Barat memungkinkan terjadinya pergaulan yang lebih bebas antara lelaki dan perempuan Bumiputra untuk bergaul secara akrab,” kata Ismi Indriani penulis “Mencari Cinta Masa Pergerakan”, termuat di Jurnal Sejarah Vol 4 (I), 2021.
Oya, bumiputra itu sebutan untuk orang-orang Indonesia.

Setelah menempuh pendidikan modern, hasrat mereka buat milih pasangan sendiri mulai bertumbuh.
“Mereka ingin menentukan pilihan hidup atas pertimbangan pikiran, perasaan serta kuasanya sendiri,” lanjut Ismi.
Mereka mengkritik perjodohan di tangan orangtua atau keluarga melalui berbagai karya tulis seperti artikel, novel, atau cerpen. Contohnya kritik dari Semaoen, salah satu tokoh Pergerakan Nasional.
“Semaoen berpendapat bahwa perjodohan paksa sebetulnya telah menyalahi kodrat karena seharusnya cinta lahir lebih dulu barulah dilaksanakan perkawinan, bukan malah kawin dulu dengan harapan cinta akan datang setelahnya,” beber Ismi.
Salah satu kritik perjodohan terkenal pada masa ini adalah novel karya Marah Rusli yang berjudul Siti Nurbaya (1922). Novel ini berkisah tentang cinta seorang perempuan yang terhalang restu orangtua. Dia mencintai laki-laki pilihannya sendiri, tapi orangtuanya enggak setuju. Mereka inginnya Siti menikah dengan lelaki lain.
Baca juga:
Apa Itu Sejarah, Pengertian, dan Asal-Usulnya: Cerita Seru di Balik Masa Lalu Kita!
Perjodohan Modern
Melangkah ke era kemerdekaan, hubungan lelaki dan perempuan mulai lebih bebas. Begitu pula dengan perjodohan. Beberapa orang mencari jodoh melalui media massa.
Kencan antara lelaki dan perempuan juga membiasa meski untuk bergandengan tangan masih agak janggal.
Era 1970-an jadi titik balik perjodohan di Indonesia karena pengaruh kuat dari budaya pop Barat. Era ini menandai keterbukaan terhadap budaya Barat setelah pada masa 1960-an muncul sentimen anti-Barat.
Anak muda tak malu-malu lagi untuk pacaran. Perjodohan meluas melalui acara radio dan televisi. Bahkan ada sebuah lembaga terkenal yang menaungi perjodohan, yaitu Yasco (Yayasan Scorpio).

Ketika teknologi internet booming (2000-2020), perjodohan pun bisa dicapai hanya dengan swipe kiri dan kanan melalui aplikasi. Enggak ada lagi banyak kekangan untuk pergaulan lelaki dan perempuan.
Perjodohan di tangan orangtua kemudian beralih ke tangan si anak sendiri. Menikah di atas usia 20-an bukan aib lagi. Pergaulan pun jadi lebih terbuka dengan batas-batas nilai yang juga bergeser.
Nah, begitulah akhirnya pergaulan dan perjodohan anak-anak muda hari ini. Panjang kan prosesnya? Tiap masa punya ciri khasnya. Kita jadi tahu karena membahasnya secara kronologis dalam rentang waktu tertentu.
Karena sudah kepanjangan, bahasan ini kita cukupin sampai sini ya!
Kalau kamu suka artikel ini dan jadi lebih paham, boleh dong di-share ke temanmu.
Habis ini, kita lanjut lagi ke bahasan seru lainnya! (dru)
Baca juga:
Sejarah Valentine, dari Tradisi Romawi hingga Pembunuhan Pastor