Respons Masyarakat Nusantara terhadap Kedatangan Bangsa Eropa saat Masa Perdagangan Rempah: Terbuka, Kritis, dan Bermartabat

Kamis, 16 Januari 2025 - Hendaru Tri Hanggoro

MerahPutih.com - Halo, Guys! Kita sering dengar bahwa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan terbuka terhadap berbagai bangsa lain. Tapi tahukah kamu bahwa sikap ini ternyata berakar dari ratusan tahun lalu?

Bagaimana ceritanya? Yuk, kita selami lebih dalam!

Sejak awal Masehi, masyarakat Nusantara telah dikenal sebagai pelaut ulung sekaligus pembuat kapal besar yang disebut jung. Oya, kapal ini terekam dalam relief di Candi Borobudur.

Kalau kata Robert Dick-Read, penulis buku Para Penjelajah Bahari, "Dari konstruksinya yang kukuh, kapal-kapal tersebut mampu melakukan perjalanan jauh."

Robert juga bilang, kalau diibaratkan zaman sekarang, kapal jung setara dengan pesawat Boeing atau Airbus

Dengan kapal itulah nenek moyang bangsa Indonesia menjelajahi samudera buat berdagang rempah ke negeri jauh, yaitu China di Utara dan Arab, India, Sri Lanka, serta Afrika di barat.

Kapal Jung besar buatan nenek moyang bangsa Indonesia
Kapal Jung besar yang digunakan nenek moyang bangsa Indonesia untuk menjelajah samudera dan berdagang rempah pada awal abad Masehi dan bertahan hingga abad ke-17. (Foto: Megiser, Hieronymus)

Bahkan, Profesor dari Universitas Gadjah Mada bernama Sri Margana menduga jangkauan berlayar nenek moyang bangsa Indonesia lebih jauh lagi.

"Hingga Laut Mediterania yang menghubungkan para pedagang dunia dari Afrika, Asia, dan Eropa," kata Margana dalam buku Arung Samudera Nusantara dan Kosmopolis Rempah.

Dari penjelajahan samudera dan perdagangan rempah, masyarakat Nusantara bisa berjumpa dan bergaul dengan bangsa lain. Jadi, bangsa kita enggak 'kuper' alias kurang pergaulan, Guys!

Terus, pas masa keemasan perdagangan rempah di Nusantara (1500-1800), keadaan berbalik. Bangsa asing lah yang mendatangi Nusantara. Misalnya Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Prancis.

Pas masa ini pula, kota-kota di Nusantara, kayak Banten dan Makassar, tumbuh jadi pelabuhan ramai, tempat pertemuan berbagai bangsa dari seluruh dunia. Sedangkan Pulau Banda jadi pusat penghasil pala yang didatangi banyak bangsa Eropa.

Masyarakat Nusantara, boleh juga sih kalau kamu mau menyebutnya sebagai warlok (warga lokal), menerima kedatangan bangsa asing secara terbuka. Baik dari Eropa, India, Arab, maupun China.

Namun, keterbukaan ini bukan berarti menerima semua perlakuan bangsa lain begitu saja.

Masyarakat Nusantara juga bisa kritis dan tegas terhadap perilaku seenak udel bangsa asing yang enggak menghormati adat, martabat, dan aturan perdagangan rempah.

Baca juga:

Sejarah VOC dan EIC Berebut Rempah di Nusantara, Dua Perusahaan Multinasional yang Berperang di Negeri Orang

Respons Orang Banten, Ingin Jadi Sahabat

Kita coba berlabuh dulu buat lihat keadaan di Banten.

Pada 22 Juni 1596, armada dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan Gerrit van Beuningen tiba di Banten.

Mereka terkejut saat disambut oleh enam orang Portugis. Sebab, itu berarti Portugis lebih dulu datang dan punya kedudukan kuat di Banten.

Meski begitu, rombongan de Houtman tetap dapat perlakuan yang bermartabat dari orang Banten.

Tumenggung Angabaya, wakil Kerajaan Banten, membawakan kerbau dan air minum dari sumber mata air di Banten secara khusus untuk rombongan de Houtman.

"Sebagai bentuk bahwa orang-orang Belanda merupakan sahabat dan bermaksud baik untuk berdagang di Banten," kata Gregorius Andika Ariwibowo dalam artikel "Kota dan Jaringan Kosmopolitan: Banten pada Masa Kejayaan Jalur Rempah Nusantara Abad XVI hingga Abad XVII" di jurnal Patanjala, Vol. 13 No 2, Oktober 2021.

Namun, ketegangan muncul ketika de Houtman menolak pemberian air minum yang dianggapnya beracun. Ia juga mencaci utusan Banten.

Perang orang Banten melawan VOC Belanda
Kesultanan Banten berperang melawan VOC Belanda pada 1682 karena rebutan takhta internal kerajaan dan monopoli perdagangan rempah. (Foto: Delpher)

Perilaku Cornelis de Houtman ini penanda awal dari buruknya perilaku orang Belanda dalam berhubungan dengan budaya dan tradisi perdagangan di Nusantara.

Padaha, menurut Gregorius, masyarakat Banten itu menganggap semua bangsa sebagai sahabat. Mereka juga terbuka pada berbagai unsur budaya asing.

Budaya penyambutan tamu asing di Banten mirip dengan yang dialami Peter Floris di Patani, Siam (sekarang Thailand).

Floris mencatat bahwa ia harus mengikuti upacara-upacara adat yang rumit, tetapi hal ini sebanding dengan manfaat seperti potongan harga lada dan izin berdagang.

Claude Guillot, seorang peneliti dari Prancis, mencatat kehadiran bangsa asing selain Eropa di Banten, yaitu Tamil dan Benggala. Mereka berperan penting dalam administrasi pelabuhan.

"Kehadiran orang-orang Tamil dan Benggala di Banten merupakan fenomena umum," tulis Guillot dalam buku Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII.

Sementara itu, komunitas Tionghoa di Banten juga ikut berperan dalam perdagangan rempah, terutama lada, dan pengolahan tebu.

Pada puncak kejayaannya di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, Banten menjadi pusat ekonomi yang bersaing dengan Batavia yang jadi kantor pusat VOC, Kongsi Dagang Hindia Timur.

"Banten pada periode ini... menerima kehadiran para pedagang Inggris, Prancis, Denmark, dan Portugis," jelas Ariwibowo.

Hubungan dagang yang kuat dengan orang China dan India juga menjadikan Banten pelabuhan penting di Asia Tenggara.

Baca juga:

Sejarah VOC, Perusahaan Multinasional yang Bertahan Dua Abad dan Berdiri karena Perdagangan Rempah di Kepulauan Nusantara

Respons Orang Makassar, Terbuka ke Semua Bangsa

Dari Banten, kita berlayar ke Makassar.

Pada tahun 1521, orang Portugis mencari rempah di sejumlah pelabuhan di pantai barat Sulawesi Selatan.

Namun, orang Portugis kurang disambut baik karena dianggap terlalu mencari keuntungan dan memusuhi penduduk Islam.

Hubungan pertama orang Portugis dengan orang Makassar baru terjalin baik pada masa Raja Tumaparisi Kallona di Somba Opu tahun 1538. Mereka berhasil membaptis (menjadikan Kristen) dua anggota keluarga raja.

Kedua orang itu juga mengatakan bahwa "Orang Makassar sangat ingin berdagang dengan Portugis."

Begitu cerita Abd. Rahman Hamid dalam artikel "Praktik Moderasi di Jalur Rempah Nusantara: Makassar Abad XVI – XVII" yang termuat di jurnal Pangadereng, Vol. 8, No. 2, Desember 2022.

orang makassar dan orang belanda berperang pada masa perdagangan rempah.
Kesultanan Makassar berperang melawan orang VOC Belanda pada masa perdagangan rempah. (Foto: Delpher)

Portugis tadinya sempat menguasai kota pelabuhan Malaka yang ramai, tapi kemudian direbut oleh Belanda pada 1641.

Sejak itu, Portugis beralih ke Makassar dan menjadikannya pusat perdagangan mereka di Nusantara. Kota ini jadi tempat penimbunan produk perdagangan, termasuk rempah-rempah

Banyak orang Portugis dan Katolik pindah ke Makassar. Francisco Vieira de Figueiredo adalah saudagar Portugis yang paling berpengaruh di Makassar. Ia memiliki hubungan baik dengan penguasa Makassar dan jaringan dagangnya meliputi berbagai kota penting di Asia Tenggara.

Namun, Vieira enggak disukai orang Belanda yang sudah dapat izin mendirikan kantor perdagangannya di Makassar sejak 1607.

Untuk menyingkirkan Vieira, orang Belanda meminta Sultan Hasanuddin, Sultan yang berkuasa di Makassar pada 1653-1669, menjauhinya. Namun, Sultan Hasanuddin menolak permintaan itu mentah-mentah.

Makassar dikenal karena moderasinya dalam menerima berbagai bangsa untuk berdagang. Buktinya Inggris, Spanyol, Denmark, dan China bisa membuka kantor dagang di sana.

"Makassar memiliki hubungan baik dengan semua pedagang asing, kecuali Belanda," ungkap Hamid.

Alasannya karena Belanda selalu ingin menguasai perdagangan rempah. Padahal Sultan Alauddin yang berkuasa pada 1593-1639 menegaskan, "Negeri saya terbuka bagi semua bangsa."

Meskipun Belanda berusaha memonopoli perdagangan, Sultan Makassar menolak tekanan mereka. Akibat politik itu, orang Belanda enggak puas dan meninggalkan Makassar. Parahnya, mereka enggak bayar utang perdagangan rempah ke Sultan.

"Sultan sangat marah akibat peristiwa tersebut dan bersumpah tidak ada lagi orang Kristen yang boleh berdagang di negerinya," catat Hamid.

Namun, hubungan orang Makassar dengan bangsa lainnya ternyata tetap harmonis.

Baca juga:

Jalur Rempah yang Menghubungkan Sejarah Dunia, Dari Perdagangan, Ilmu Pengetahuan, sampai Kolonialisme

Respons Orang Banda, Senang Ketemu Pelanggan

Dari Makassar, kita menyeberang ke Pulau Banda.

Ketika pertama kali tiba di Banda pada 1511, orang Portugis disambut dengan ramah oleh orang Banda.

"Penduduk asli yang telah lama menyadari adanya para peminat hasil bumi mereka yang datang jauh dari Eropa, sangat senang bertemu dan berdagang dengan langganan asing ini secara langsung," kata Willard A. Hanna dalam buku Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala.

Orang Portugis pun sangat senang bisa beli rempah dengan harga yang murah dan menjualnya dengan harga tinggi di pasaran Eropa. Karena itu, mereka betah banget di Banda.

"Cukup lama berada di Kepulauan Banda, yakni sekitar 87 tahun, mereka juga sempat mendirikan gereja Katolik di Lonthor," cerita M. Fauzi, sejarawan yang meneliti Banda, kepada tim redaksi MP.

Namun, semua berubah ketika orang Belanda datang.

Orang Banda berdagang Rempah dengan orang VOC Belanda
Perdagangan rempah orang Banda dan orang VOC Belanda pada 1605. (Foto: Repro buku Kepulauan Banda karya Willard A. Hanna)

Awalnya, orang Belanda juga disambut ramah oleh orang Banda pada 1599. Begitu datang untuk kedua kalinya pakai bendera VOC pada 1605, ternyata orang Belanda ingin memonopoli rempah.

Orang Belanda ingin mengusir bangsa lain yang juga berdagang rempah di Banda, seperti Portugis dan Inggris.

Orang Banda mulai enggak suka dengan orang Belanda. Apalagi orang Belanda itu pelit dalam perdagangan rempah.

“Dalam soal dagang, kesalahan orang Belanda ialah memberi terlalu sedikit, dan meminta terlalu banyak,” sebut Willard A Hanna.

Selain itu, pola perdagangan yang diterapkan orang Belanda beda banget dengan pola masyarakat lokal.

Orang Banda lebih suka menukar pala dengan kain linen atau beras, sementara orang Banda menawarkan uang dan kain katun yang kurang cocok untuk iklim tropis.

Orang Belanda mencoba monopoli perdagangan rempah dengan mendekati orang kaya atau kelompok bangsawan yang berpengaruh di Banda.

"Mereka menganggap bahwa ketika orang kaya telah menyetujui maka akan disetujui juga oleh masyarakat lainnya di pulau tersebut," tulis Jalu Lintang Yogiswara Anuraga dalam artikel "Jalur Rempah Banda, Antara Perdagangan, Penaklukan dan Percampuran: Dinamika Masyarakat Banda Neira Dilihat dari Sosiohistoris Ekonomi Rempah".

Namun, monopoli enggak kejadian di Banda, karena masyarakatnya lebih egaliter dan enggak selalu mengikuti keputusan orang kaya.

Monopoli baru kejadian setelah Jan Pieterszoon Coen menyerang Banda habis-habisan pada 1619. Banyak korban berjatuhan, baik dari warlok maupun dari orang Inggris.

Kekerasan yang dilakukan Belanda meninggalkan luka mendalam bagi orang Banda sehingga mereka sampai mengungsi ke pulau tetangga.

Nah, itulah sejarah respons masyarakat Nusantara terhadap kedatangan bangsa Eropa selama masa perdagangan rempah di Nusantara.

Kita jadi tahu kan nenek moyang kita bukan hanya pedagang ulung, tapi juga penjaga martabat yang tangguh. Mereka membuka pintu bagi berbagai bangsa, tetapi tetap kritis terhadap perilaku seenaknya.

Jadi, yuk kita bangga dan terus belajar dari sejarah kita yang keren ini! Tetap ikuti artikel-artikel sejarah di MerahPutih.com ya! (dru)

Baca juga:

Apa sih Guna Sejarah? Dari Mengangkat Orang-Orang Kecil sampai Fondasi untuk Bangun Masa Depan

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan