Ramadan Kelam Buya Hamka

Senin, 28 Mei 2018 - Zaimul Haq Elfan Habib

PAGI baru saja pergi membawa kesejukan. Seketika, kedamaian yang bersemayam di dalam diri Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dirampas oleh antek-antek Soeharto. Ia dituduh sebagai penghianat bangsa. Kejadian ini terjadi pukul 11.00 siang pada Senin, 12 Ramadhan 1385 atau bertepatan dengan 27 Januari 1964.

Hamka diangkut jauh menuju sebuah tempat di Sukabumi. Di sana Hamka diperiksa tiada henti. Bertubi-tubi tuduhan dilayangkan kepadanya. Hamka yang saat itu sudah berusia lebih setengah abad hanya irit bicara.

"Di sana saya diperiksa tak henti-henti, siang malam, petang pagi. Istirahat hanya ketika makan dan sembahyang saja. 1001 pertanyaan, yah 1001 yang ditanyakan. Yang tidak berhenti-henti ialah selama 15 hari 15 malam," tulis Hamka dalam pengantar cetakan XII buku “Tasawuf Modern“.

Buya Hamka. (Foto/Istimewa)
Buya Hamka. (Foto/Istimewa)

Satu kali, ada pertanyaan yang membuat Hamka murka. Ucapan itu belum pernah sekalipun ia dengar semasa hidupnya. Ia dituduh sebagai penghianat bangsa dan menjual Indonesia kepada Malaysia. “Saudara pengkhianat, menjual Negara kepada Malaysia!” begitu bunyi ucapan tersebut.

Emosi di dalam dadanya berkecamuk seketika. Beruntung Hamka yang sedang lupa diri cepat tersadar dan insaf dengan siapa dia berhadapan. Hamka yang tadinya sudah mulai berdiri, terduduk kembali dan meloncatlah tangisannya sambil meratap.

"Janganlah saya disiksa seperti ini. Bikinkan sajalah satu pengakuan bagaimana baiknya, akan saya tandatangani. Tetapi kata-kata demikian janganlah saudara ulang lagi!” kata Hamka.

"Memang saudara pengkhianat!” kata petugas tersebut seraya berlalu dan menghempaskan pintu.

Suasana ruangan kembali senyap. Namun emosi Hamka masih menggelegak. Di saat seperti itu datanglah tetamu yang tak diundang, dan yang memang selalu datang kepada manusia di saat seperti demikian. Yang datang itu ialah setan.

"Dia membisikkan ke dalam hati saya, supaya saya ingat bahwa di dalam simpanan saya masih ada pisau silet. Kalau pisau itu dipotongkan saja kepada urat nadi, sebentar kita sudah mati. Biar orang tahu bahwa kita mati karena tidak tahan menderita," jelasnya.

Hampir satu jam lamanya terjadi perang hebat dalam bathin Hamka. Iblis dan Iman saling menjatuhkan. "Sampai-sampai saya telah membuat surat wasiat yang akan disampaikan kepada anak-anak di rumah. Tetapi Alhamdulillah! Iman saya menang," kata Hamka. (*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan