Penjelasan PSSI Terkait Sanksi Persib Akibat Koreo Save Rohingya
Senin, 18 September 2017 -
MerahPutih.com - Komite Disiplin (Komdis) PSSI menjatuhkan sanksi terhadap Persib karena ulah bobotoh melakukan koreo bertajuk Save Rohingya pada Pertandingan Persib Bandung vs Semen Padang FC, di Stadion Si Jalak Harupat Bandung, Sabtu (9/9) lalu.
Menurut Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria, menyikapi aksi solidaritas itu PSSI menjatuhkan sanksi denda Ro 50 juta kepada Persib berdasarkan ketentuan dalam Pasal 67.3 dari Kode Disiplin PSSI yang diterapkan sesuai dengan Kode Disipliner FIFA.
Dalam ketentuan yang berlaku secara global tersebut, FIFA menentukan bahwa pemaparan simbol politik dalam bentuk apapun dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai (improper conduct), yang dapat dikenakan sanksi.
"FIFA tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai unsur apa saja yang dapat dikategorikan sebagai hal yang bersifat politis. Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan itu bisa diformulasikan dengan merujuk pada preseden FIFA dalam menjatuhkan sanksi," katanya dalam keterangan resmi yang dimuat di laman PSSI, Senin (18/9).
Dalam konteks ini, tentunya sanksi dimaksud adalah sanksi yang dijatuhkan terhadap adanya simbol-simbol yang bersifat politis dalam penyelenggaraan sepakbola baik oleh pemain, klub maupun asosiasi anggota seperti PSSI.
Di penghujung tahun 2016, FIFA menjatuhkan sanksi terhadap beberapa federasi anggotanya di Inggris Raya, termasuk FA negara Inggris, Skotlandia dan Wales. Sanksi berupa denda tersebut diberikan FIFA terhadap tindakan dari federasi-federasi tersebut dalam mengizinkan tim-tim nasional mereka menggunakan atribut bunga poppies pada seragam yang dikenakan pemain pada pertandingan-pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018. Hal ini tetap terjadi walaupun – berdasarkan pembelaan masing-masing federasi – simbol poppies tersebut dipakai untuk memperingati korban perang dan juga menghormati veteran-veteran perang.
Perwakilan FIFA menyatakan bahwa institusinya menghargai makna yang terkandung dalam simbol tersebut beserta pihak-pihak yang dihormati dari pemakaian simbolnya. Akan tetapi FIFA mengambil sikap tegas untuk menerapkan prinsip bahwa sepakbola bebas dari unsur politik, agama dan ras. Prinsip ini diadopsi dari gerakan olimpiade yang diusung oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC), yang keberadaannya juga menjadi induk bagi FIFA dan sepakbola secara global.
Selain FIFA, dalam tingkat regional, konfederasi-konfederasi FIFA juga konsisten dalam menerapkan aturan ini. UEFA - konfederasi sepakbola di benua Eropa – beberapa tahun lalu menjatuhkan sanksi denda kepada beberapa Klub anggotanya, termasuk klub kelas dunia seperti Glasgow Celtic FC, karena terdapat beberapa suporter yang ditemukan membawa bendera Palestina saat pertandingan resmi yang diawasi oleh FIFA.
Insiden ini terjadi tidak lama setelah adanya sebuah eskalasi pada konflik Israel-Palestina, yang merupakan salah satu konflik terpanjang dalam sejarah yang berakibat pada jatuhnya demikian banyak korban jiwa dari kedua belah pihak.
Alasannya pengenaan sanksi ini juga sama, yakni karena tindakan para suporter tersebut mengandung unsur politik. Terlepas dari apapun pendapat ataupun pandangan politik sekelompok suporter sepakbola terhadap konflik manapun, berdasarkan prinsip non-politik FIFA, hal-hal seperti ini tidak dapat diakomodir dalam penyelenggaraan sepakbola.
Dalam Statuta PSSI, segenap anggota PSSI sepakat bahwa salah satu tujuan PSSI adalah mematuhi segenap peraturan FIFA dan AFC. Untuk mencapai tujuan ini, maka disepakati pula bahwa PSSI akan bersikap netral dalam politik dan agama.
Tidak dapat dipungkiri, status etnis Rohingya saat ini sangatlah memprihatinkan. Sebagai sebuah institusi, PSSI berharap ada solusi yang damai dan konsisten dengan hak asasi manusia dan ketentuan hukum yang berlaku dari konflik di Myanmar. (*)