Lima Lagu, Tiga Sutradara, The Jansen Sajikan Antologi Visual untuk 'Banal semakin Binal'

Minggu, 16 November 2025 - Dwi Astarini

MERAHPUTIH.COM - DI tengah gegap gempita Durja Bersahaja yang baru saja mempertegas posisi The Jansen sebagai salah satu band punk rock progresif di Indonesia, duo asal Bogor itu memilih manuver yang tak terduga. Bukannya terus melaju dengan materi baru, mereka justru kembali menyentuh arsip lama: Banal Semakin Binal, album yang pernah membuka fase penting bagi punk-rock Indonesia dan menunjukkan betapa luasnya ruang gerak musik punk dalam kehidupan sehari-hari.

Bersama KithLabo, The Jansen bersiap merilis lima video musik dari album tersebut secara bertahap. Rangkaian perilisan itu mencakup Planetarium (14 November 2025), Kau Pemeran Utama di Sebuah Opera (28 November 2025), Ku Bukan Mesin Lotremu (12 Desember 2025), Berkelana dalam Ruang dan Mimpi (9 Januari 2026), dan Langit Tak Seharusnya Biru (23 Januari 2026). Semua video akan tersedia di kanal YouTube resmi The Jansen.

Berikut sejumlah detail dari setiap video musik yang akan dirilis tersebut:


1. Robonggo dan Dua Orang Asing di Kota yang Tak Pernah Tidur



Robonggo, sutradara yang menangani Planetarium dan Kau Pemeran Utama di Sebuah Opera, menulis kisah tentang dua orang asing yang terus bertemu di ruang dan waktu berbeda, di tengah Jakarta yang tak pernah benar-benar berhenti bernapas.

“Dua video lirik, dua sudut pandang, satu benang merah,” katanya. “Keduanya bercerita tentang dua orang asing yang terus bertemu di ruang dan waktu berbeda.” Robonggo mengaku mendapat kebebasan penuh dari band, tapi tetap menjaga benang merah dari Banal Semakin Binal.

“Saya diberi kebebasan banget, tapi tetap berdasarkan background story dari setiap lagu,” ujarnya. “Jadi tetap nyambung dengan roh album, meski hasil akhirnya mungkin lebih liar secara visual.”

Dengan medium handycam dan pendekatan dokumenter eksperimental, Robonggo menangkap denyut kota dari jarak dekat. Pijar redup lampu jalan, hujan, pendar petunjuk arah di stasiun, detail-detail keseharian yang janggal, dan wajah manusia tanpa arah.

Baca juga:

The Jansen Hidupkan Kembali 'Banal Semakin Binal' Lewat Antologi Visual


2. Yustinus dan Estetika Grafis Era 2000-an



Sementara itu, Yustinus, yang menggarap dua lagu, mengambil arah yang kontras. Ku Bukan Mesin Lotremu ia ubah menjadi noir eksperimental, memadukan potongan GIF dari era Nokia 3310, era demam warung internet, dan majalah tafsir mimpi. “Gue inget banget awal 2000-an, zaman internet baru nongol, semua serbafisikal,” ujarnya.

“Liriknya ngomong soal manusia dan sistem, gue tangkap kayak masyarakat analog yang dipaksa jadi digital. Jadi noir, absurd, kayak kasus cinta yang enggak kelar-kelar.” Untuk Berkelana dalam Ruang dan Mimpi, Yustinus menyalakan sisi romantis The Jansen dengan pendekatan anime slice-of-life.



3. Badrus dan Film Fiksi Bisu


Dalam Langit Tak Seharusnya Biru, Badrus menciptakan dunia film bisu surealis tentang seorang ilmuwan yang frustasi karena tak dipercaya siapa pun, hingga akhirnya terlempar ke ruang hampa. “Ada dua karakter,” jelas Badrus.

“Seorang ilmuwan ambisius dan teman virtualnya, sebuah TV yang ngoceh terus. Nanti mereka bersahutan: di verse TV-nya bicara, di reff sang ilmuwan yang curhat. Akhirnya dia terhempas ke luar angkasa.”

Visualnya akan direkam dengan seluloid 8 mm, disunting digital, tapi tetap membawa getar goyah khas era Chaplin dan Méliès.



4. Pemberontakan dan Romantika



Adji cukup terkejut melihat tafsir liar para sutradara. “Gue selalu nulis lirik yang terbuka buat diinterpretasi. Senang aja lihat imajinasi mereka bisa sejauh itu” ujarnya.

Sebagai seorang frontman, Tata yang awalnya mengira bentuk intepretasi visual akan mengarah pada unsur-unsur chaotic justru disuguhi dengan konsep yang lebih luas, tanpa mengurangi esensi dan spirit dari punk itu sendiri.

“Awalnya gue kira bakal chaos. Tapi ternyata dari musik yang nabrak-nabrak, bisa lahir visual yang lembut, komedi, sampai film 70-an. Jadi paham, ternyata punk enggak harus demo, bisa jadi ilmuwan juga,” ujarnya.

Keduanya sepakat bahwa proyek ini merupakan bentuk pemberontakan yang lebih tenang. Bukan lewat teriakan di panggung, melainkan lewat tafsir visual yang berlapis.(far)


Baca juga:

The Jansen Mulai Era Baru Lewat Album 'Durja Bersahaja'

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan