Legislator Beberkan Kunci Keluar dari Middle Income Trap
Jumat, 31 Mei 2024 -
MerahPutih.com - Pemerintah mematok angka pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,1 - 5,5 persen pada Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025.
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati buka suara menyikapi penyusunan UU APBN 2025. Menurutnya, diperlukan pertumbuhan ekonomi setidaknya 6 persen sebagai syarat menuju Indonesia Emas 2045 dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
“Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi per tahun antara 6-7 persen, sementara tren pertumbuhan ekonomi selama dua periode kepemimpinan saat ini (hanya) mencapai rata-rata 5 persenan saja,” kata Anis dalam keterangannya dikutip, Jumat (31/5).
Anis menilai, pertumbuhan ekonomi yang rendah tersebut, didorong oleh rendahnya tingkat produktivitas Indonesia. Produktivitas yang rendah tercermin dari Total Factor Productivity (TFP) Indonesia selama 2005 – 2019 yang tumbuh negatif sebesar -0,66.
Baca juga:
Gibran Konsisten Gaungkan Hilirisasi Agar Indonesia Keluar dari Middle Income Trap
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini kemudian membandingkannya dengan Korea Selatan yang mampu mencapai 1,61 ketika masih dalam situasi menuju negara maju pada tahun 1971 -1995 atau Tiongkok sebesar 1,60 selama kurun 2005 – 2019.
“Produktivitas yang rendah dari Indonesia disebabkan kualitas SDM yang tertinggal. Baik dari sisi produktivitas sektor ekonomi yang rendah, kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, inovasi yang tertinggal, hingga rumitnya regulasi dan kepastian hukum, Indonesia kesulitan menuju negara maju,” ujarnya.
Menurutnya, kapasitas Ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi sangat penting untuk meningkatkan daya saing bangsa melalui efisiensi, desain produk berkualitas, dan berteknologi tinggi.
“Namun semua itu dihadapkan dengan lemahnya komitmen pemerintah terutama dari sisi belanja anggaran riset dan teknologi yang baru mencapai 0,28 persen dari PDB. Jauh tertinggal dibandingkan Korea Selatan (4,81), dan Malaysia (1,04) menurut data tahun 2020,” jelas dia.
Baca juga:
Berdasarkan Indeks Inovasi Global yang dirilis World Intellectual Property Organization yang merupakan badan dari PBB. Inovasi Indonesia dalam 10 tahun terakhir berada di bawah peringkat Singapura yang menduduki peringkat (8), Malaysia (36), Thailand (43), Vietnam (44), dan Filipina (51). Sementara Indonesia sendiri bertengger di peringkat 87 dari seluruh negara lainnya di dunia.
Ia menekankan, penguatan belanja anggaran riset pemerintah menjadi penting untuk memicu lahirnya riset, inovasi, dan teknologi. Sehingga, pada gilirannya akan mendorong tingkat produktivitas Indonesia dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di kisaran 6-7 persen.
“Belanja anggaran riset perlu diperkuat, pada akhirnya riset, inovasi, dan teknologi lah yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih kencang. Jika keberpihakan negara tidak ada, sulit rasanya menuju Indonesia emas 2045,” imbuhnya.
Baca juga:
Pasar Keuangan Global Memburuk, BI Rate Naik 25 Basis Poin
Anis menegaskan bahwa inovasi teknologi diperlukan di berbagai lini. Ia lantas menyinggung bahwa dalam UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang diusulkan oleh Komisi XI DPR hal ini juga mendapatkan perhatian.
"Upaya tersebut agar semua berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional secara simultan, tantangannya ialah SDM, salah satunya masih minimnya literasi keuangan," ujarnya.
Menurutnya, untuk mencapai SDM menuju negara maju, kualitas dan kuantitas peneliti Indonesia belum cukup memadai. Tercermin dari jumlah peneliti riset dan inovasi per satu juta penduduk, Indonesia hanya mencapai 388, jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (7.287), Thailand (1.790), dan Korea Selatan (8.408).
“Demikian pula ekosistem riset masih lemah, hasil riset tidak aplikatif karena masih kurangnya kerja sama riset domestik dan internasional,” tutup legislator Dapil DKI Jakarta I tersebut. (Pon)