Kisah Tragis di Balik Benteng Portugis Pulau Ende

Kamis, 30 Agustus 2018 - Noer Ardiansjah

SISA puing bekas benteng Portugis masih tampak jelas terlihat di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dengan susunan batu karang, tiga benteng itu masih tetap kokoh meski diselimuti akar pepohonan nan rimbun.

Di sana, Presiden Sukarno pernah menyimpan kisah. Tepatnya, ketika Si Bung diasingkan di Ende sekira 1934-1938. Ia pernah menulis naskah drama yang kemudian dipentaskan bersama klub Toneel Kelimutu. Drama itu bertajuk Rendo Rate Rua. Judul tersebut, ternyata, berhubungan erat dengan keberadaan bangsa Portugis di Pulau Ende, termasuk kisah tiga benteng nan kokoh itu.

Ide pembangunan benteng itu, menurut FX Sunaryo dalam Sejarah Kota Ende, untuk membendung serangan kolonial Belanda. Perancangnya merupakan seorang berdarah Portugis bernama Louis Fernando. Letaknya, berada di Dusun Paderade, Desa Rendo Rate Rua.

Rendo Rate Rua, menurut FX Sunaryo dkk yang bersumber dari tutur masyarakat, adalah putri kandung Louis Fernando. "Cerita tersebut berkembang di penduduk asli," tulisnya.

Sayang, tembok peninggalan Portugis nan bersejarah itu ternyata hanya tinggal nama. Tak ada bangunan benteng nan kokoh disertai meriam seperti yang dibayangkan. Yang tampak hanya sebuah bekas tembok yang sudah runtuh.

Rendo Rate Rua dan Benteng Portugis

Benteng Portugis. (Foto: Collectie Tropenmuseum)

Berbicara tentang sejarah Pulau Ende, tentu tidak terlepas dari peran Benteng Portugis yang saat ini masih tampak dengan sisa-sisa bangunan. Benteng yang penuh dengan kenangan sejarah tersebut, kini hanyalah tinggal nama.

Padahal tersimpan sejuta misteri maupun sejarah kolonialisasi Portugis di Kabupaten Ende. Tak hanya benteng, Desa Rendo Rate Rua, Kecamatan Pulau Ende pun memiliki sejarah tersendiri.

Meski belum dapat dipastikan secara pasti, namun masyarakat sekitar memercayai nama Rendo Rate Rua berasal dari nama seorang gadis cantik nan jelita. Ia merupakan anak kesayangan pemimpin kolonial Portugis yang pernah berada di Pulau Ende bernama Louis Fernando.

Ketika berhasil menguasai Pulau Ende sekitar tahun 1561, Fernando segera membangun tiga buah benteng pertahanan. Pada saat itu, ia menamai benteng tersebut Fortoleza Do Ende Mino.

FX Sunaryo dkk dalam buku Sejarah Kota Ende menulis, sejak tahun 1598 misonaris Portugis telah berusaha menyebarkan Agama Katolik di Pulau Ende.

Pada waktu itu terdapat tiga Stasi yang lengkap dengan gereja yakni Stasi Saraboro dengan Gerejanya Santa Maria Magdalena, Stasi Numba dengan Gerejanya Santo Dominikus, dan Stasi Curolallas dengan Gerejanya yang bernama Santa Kataria dari Siena.

Umat Katolik dan misionaris Portugis waktu itu bergotong royong membangun benteng yang terbuat dari batu kapur seperti yang terdapat di Pulau Solor dengan tujuan untuk melindungi diri. Setelah benteng selesai dibangun diangkatlah seorang Panglima Benteng yaitu Pero de Carvalhaes dari Evora.

Benteng Portugis. (Foto: Collectie Tropenmuseum)

Pada Tahun 1605, para penduduk benteng di Pulau Ende diusir. Tindakan tersebut karena masyarakat pribumi menyebarkan kebencian serta menghasut penduduk untuk melawan Portugis dengan alasan, orang-orang Portugis telah bertindak kasar serta menghukum penduduk pada waktu pembangunan benteng.

Hal tersebut terungkap dalam surat Panglima Benteng Solor, Andrian van der Velde yang dikirim kepada Gubernur Jenderal Peter Both bahwa berdasarkan kunjungannya ke Pulau Ende pada November 1613, masyarakat pribumi telah mengusir imam-imam Portugis. Termasuk membunuh putri Louis Fernando, Rendo Rate Rua. Sejak itulah, Pulau Ende tidak ada lagi misionaris Portugis.

Tanggal 20 April 1613 benteng Solor yang menjadi kekuatan utama Benteng Portugis jatuh ke tangan Belanda. Sejak tahun 1613 itu seluruh misi Solor yang meliputi Pulau Solor, Flores, dan Pulau Ende ada di bawah kekusaan kolonial Belanda. (*)

Benteng Solor diganti dengan nama Benteng Henricus. Pada November 1613, Andrian van der Velde mengunjungi Pulau Ende untuk mendamaikan orang Islam dengan orang Katolik. Ia menyuruh untuk manghancurkan Benteng Ende, tetapi penduduk Pulau Ende menolak. Arkian, benteng tersebut terabaikan.

Hingga pada akhirnya, setelah beberapa abad 'mati suri' sejarah dari benteng itu pun kembali mencuat. Presiden pertama Indonesia, Sukarno saat diasingkan oleh kolonial Belanda ke Pulau Ende sempat menulis sebuah naskah drama untuk mengisahkan keindahan Pulau Ende dan Kelimutu.

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan