Jejak Pelajar Indonesia di Jepang pada 1930-an, Dari Bikin Perkumpulan Serikat Indonesia Sampai Belajar Keramik

Kamis, 23 Januari 2025 - Hendaru Tri Hanggoro

MerahPutih.com - Halo, Guys! Kalau kamu lagi mencari beasiswa sekolah ke luar negeri atau pernah belajar di luar negeri, kamu pasti tahu Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).

PPI adalah organisasi yang menaungi para pelajar Indonesia di luar negeri. Di mana ada pelajar Indonesia, di situ biasanya ada PPI.

PPI berguna banget buat bantu kamu menyelesaikan studi. Bayangkan kamu jauh dari rumah. Sendirian di negeri asing. Belum banyak kenalan dan enggak begitu tahu tempat-tempat asyik buat lepas penat.

Terus ketemu dengan sesama orang Indonesia sepantaran yang juga lagi studi. Dia lalu jadi teman berbagi cerita dan rasa. Kamu pun enggak merasa sendirian di negeri asing.

Asyik kan?

Nah, sejarah PPI ini bermula dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Eropa, termasuk Belanda, pada 1900-an atau pas masa kolonialisme Belanda dan Indonesia masih bernama Hindia Belanda.

Saat itu Eropa dianggap sebagai salah satu wilayah yang menyediakan pendidikan terbaik di dunia. Makanya anak-anak muda Indonesia yang berasal dari kalangan mampu kepingin banget sekolah di sana. Biar pas balik, bisa memperbaiki keadaan masyarakat yang terjajah.

Pelajar Indonesia ini kemudian mendirikan Indische Vereniging pada 1908. Tujuannya mewadahi kepentingan pelajar Indonesia di Belanda. Belum ada tujuan berbau kemerdekaan.

Pada 1922, nama Indische Vereniging berubah jadi Perhimpunan Indonesia. Cita-citanya pun jadi lebih luas, yaitu Indonesia Merdeka.

Terus pada masa 1930-an, ketika Jepang mulai mendapat perhatian orang-orang Indonesia sebagai bangsa dan negara maju, anak-anak muda Indonesia pun tertarik belajar di sana.

Para pelajar ini lalu mendirikan komunitas pelajar Indonesia di Jepang yang disebut Serikat Indonesia.

Dan inilah kisah mereka, para pionir komunitas pelajar Indonesia di Jepang. Bagaimana mereka membangun komunitas, menghadapi tantangan, dan meraih cita-cita di negeri orang?

Baca juga:

Catatan Petualangan Orang-Orang Indonesia ke Jepang pada 1930-an, Ada yang Kritis sampai Kagum Berat pada 'Negeri Sakura'

Alasan Pelajar Indonesia Memilih Jepang

Enggak ada yang tahu siapa orang Indonesia pertama yang belajar ke Jepang sebelum dasawarsa 1930-an. Yang bisa diketahui adalah orang Indonesia yang belajar ke Jepang mulai dekade 1930-an.

"Yang memulai melangkahkan kaki guna menuntut ilmu ke Jepang pada tahun 1930-an yang bisa dikatakan sebagai 'Gerakan Perjalanan ke Timur' ala Indonesia itu boleh dikatakan telah jelas, yakni Mahjuddin Gaus dan Madjid Usman, dua pemuda Minangkabau (Sumatra Barat)," kata Ken'ichi Goto, sejarawan Jepang, dalam bukunya Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia.

Umur Gaus dan Usman kala itu masih 20-an tahun. Mereka tertarik dengan Jepang karena pengaruh pemberitaan kemajuan dan perkembangan di 'Negeri Sakura'.

Gaus dan Usman adalah anak dari pedagang sukses di kampungnya. Karena itu, orangtua mereka mampu membiayai sekolah ke luar negeri.

Gaus Mahjuddin perintis Pelajar Indonesia di Jepang pada 1930-an
Potongan berita di Bintang Timoer 28 Oktober 1932 tentang Gaus Mahjuddin. (Foto: Perpusnas)

Khusus Gaus, ia tadinya ingin meneruskan belajar ilmu kedokteran ke Eropa.

"Akan tetapi belakangan rupanya tuan Gaus mendapat beberapa keterangan tentang hal-hal pelajaran di Jepang hingga hal itu menyebabkan ia berniat hendak ke Jepang," catat koran jadul Bintang Timoer, 28 Oktober 1932.

Gaus dan Usman tiba di Pelabuhan Kobe, Jepang, pada awal Januari 1933. Mereka kaget begitu turun dari kapal. Ada wartawan Jepang dari koran Kobe Shimbun mendekatinya.

Padahal Gaus dan Usman merasa dirinya bukan siapa-siapa. Cuma anak muda dari negeri jajahan Belanda. Enggak ada daya jualnya.

"Apakah kunjungan kami di Jepang itu bisa menjadi berita dunia yang begitu penting, menggemparkan?" tanya Gaus dalam otobiografinya Buku Kenang-Kenangan Mahjuddin Gaus, seperti disebut Ken'ichi Goto.

Gaus menduga kedatangan mereka diketahui oleh wartawan Reuters, lalu diteruskan ke wartawan Jepang.

Meski kaget, Gaus mengaku terhormat ada wartawan Jepang yang mau mewawancarai orang dari negeri jajahan Belanda.

Apalagi wartawannya juga memberikan kata-kata semangat kepada mereka.

"Seperti harian Bintang Timoer di tanah air," ujar Gaus, yang akhirnya diterima di Universitas Kedokteran Jikei.

Baca juga:

Orang-Orang Jepang sebelum Menjajah Indonesia, Dari Jadi Tentara Bayaran VOC sampai Pedagang Klontong

Pelajar Indonesia di Jepang Bikin Perkumpulan Serikat Indonesia

Bintang Timoer adalah surat kabar yang diterbitkan oleh Parada Harahap, seorang jurnalis pengagum Jepang.

Parada pernah menulis kekagumannya pada Jepang lewat surat yang ditujukan buat teman Jepangnya.

Menurut Parada, sejak Restorasi Meiji (1868) bergulir, Jepang telah meraih kemajuan teknologi dan ekonomi setara dengan bangsa Barat. Namun, itu enggak sama sekali mencabut akar kepribadian bangsa Jepang.

"Ini kita puji dan kita ingin betul mengambil contoh dari caranya Jepang bekerja membangunkan bangsa dan negerinya, dengan tidak meninggalkan adat-istiadatnya," tulis Parada.

Parada juga lah yang kemudian mendorong anak-anak muda Indonesia buat belajar ke Jepang daripada ke Belanda. Ia sendiri bahkan sampai bela-belain pergi ke Jepang pada akhir November 1933 sambil bawa dua anak muda Indonesia.

Selain lebih murah daripada belajar di Belanda, pilihan belajar di Jepang juga lebih banyak. Dari astronomi, listrik, kedokteran, teknik, sampai jiujitsu.

Pelajar Indonesia di Jepang berpakaian adat Jawa pada 1940-an.
Tujuan awal Serikat Indonesia itu memupuk kekompakan para mahasiswa yang datang dari berbagai pelosok Indonesia. (Foto: Repro buku Hubungan Indonesia dan Jepang dalam Lintasan Sejarah/Aiko Kurasawa)

Enggak heran bila pers kolonial mengingatkan pemerintah Hindia Belanda agar berhati-hati dengan ajakan Parada dan ketertarikan anak-anak muda Indonesia kepada Jepang.

"Ini bukan saatnya untuk mengabaikan atau menyembunyikan fakta. Kita harus waspada agar tidak terkejut oleh kenyataan yang tidak diinginkan," tulis koran berbahasa Belanda Deli Courant, 23 Januari 1934.

Kekhawatiran pers kolonial cukup beralasan. Mengingat beberapa tahun sebelumnya, mahasiswa Indonesia di Belanda juga bikin gerakan politik lewat Perhimpunan Indonesia.

Cara ini pun juga dilakukan oleh Gaus dan Usman dengan mendirikan organisasi Serikat Indonesia pada Desember 1933. Gaus jadi ketuanya, sedangkan Usman yang diterima di Universitas Meiji, megang sekretaris jenderal.

Tujuan awal Serikat Indonesia emang bukan politik, tapi lama-lama menyerempet ke sana.

Kata Gaus, tujuan awal Serikat Indonesia itu memupuk kekompakan para mahasiswa yang datang dari berbagai pelosok Indonesia dan mempermudah para mahasiswa yang baru datang dari Indonesia.

Baca juga:

Sejarah Awal Mula Ambisi Jepang di Asia, Perluasan Wilayah ke Selatan yang Bikin Sengsara Indonesia

Pelajar Indonesia di Jepang Mendukung Pan-Asia

Buat sarana komunikasi, Serikat Indonesia menerbitkan buletin yang bernama Berita Indonesia. Isinya seputar pengalaman hidup pelajar Indonesia di Jepang dan keilmuan yang lagi dipelajari.

Serikat Indonesia mengirim buletin ini ke orang-orang Indonesia yang tinggal di Jepang dan media-media di Hindia Belanda yang berbahasa Melayu, termasuk Bintang Timoer.

Tapi sayangnya, menurut Ken'ichi Goto, arsip buletin tersebut enggak ada yang tersisa lagi.

Meski secara organisasi enggak berpolitik, anggota Serikat Indonesia bergaul luas dengan sesama mahasiswa perantauan di Jepang, terutama dari negara-negara Asia.

Mereka mendiskusikan bagaimana gagasan pan-Asia Jepang bakal menyelamatkan negara-negara Asia yang terjajah. Slogan yang terkenal ketika itu adalah 'Asia demi Asia'.

Pan-Asia sebermula adalah gagasan menyatukan seluruh Asia di bawah payung Jepang secara damai. Karena itu, banyak pelajar Indonesia mendukungnya. Salah satunya Joesoef Hassan.

Poster propaganda pan-Asia
Pan-Asia sebermula adalah gagasan menyatukan seluruh Asia di bawah payung Jepang secara damai. (Foto: YouTube/Naas)

Beberapa di antara mereka juga ikutan kumpul di organisasi politik yang namanya Asosiasi Asia Raya. Saat organisasi itu menggelar Kongres Asia Raya pada Desember 1933, Gaus berbicara di situ.

"Kemerdekaan itu merupakan hak sejak dilahirkan sebagai manusia bagi bangsa mana pun. Kami juga mau merdeka seperti negara lainnya," teriak Gaus dalam bahasa Jepang.

Karena melihat ada tanda-tanda dukungan dari orang terpelajar negeri-negeri terjajah, Jepang lalu mendirikan Kaigai Kyouiku Kyokai (Oversea Educational Society).

"Asosiasi ini berada di bawah perlindungan langsung Perdana Menteri Jepang, Saito, dan bertujuan untuk memberikan dukungan kepada pelajar asing yang datang untuk belajar di Jepang," sebut koran berbahasa Belanda Soerabaijasch Handelsblad, 23 Januari 1934.

Baca juga:

Respons Masyarakat Nusantara terhadap Kedatangan Bangsa Eropa saat Masa Perdagangan Rempah: Terbuka, Kritis, dan Bermartabat

Lunturnya Harapan Pelajar Indonesia pada Jepang

Setelah kedatangan Gaus dan Usman, pelajar Indonesia di Jepang semakin banyak. Jumlahnya memang masih bisa dihitung jari, tapi peningkatan ini menunjukkan kian kuatnya citra Jepang di mata anak muda Indonesia.

Salah satu pelajar Indonesia bernama Mohammad Juli yang datang ke Jepang pada Mei 1937 mengaku mendapat citra positif tentang Jepang dari gurunya.

Waktu SMP, Juli ingat guru sejarahnya bilang bahwa Jepang itu negara kuat Asia. Sejak itu, dia jadi pengagum berat Jepang.

Enggak seperti pelajar lainnya yang memilih ilmu populer, Juli belajar keramik selama di Jepang. Ia melanjutkan pelajaran di sekolahnya waktu di Indonesisch Nederlandsche School Batu Sangkar, Sumatra Barat.

Karena belajar keramik, Juli harus ke kota kecil. Ia senang saja karena bisa merasakan semangat hidup orang Jepang. Apalagi ini sesuai saran guru bahasa Jepangnya.

situasi jepang pada 1930-an.
Merasakan semangat hidup orang Jepang pada 1930-an. (Foto: YouTube/Naas)

"Kalau ke Jepang, jangan hanya tinggal di kota besar, kamu harus tinggal di kota kecil," kata gurunya, seperti diceritakan Ken'ichi Goto.

Namun, enggak lama setelah Juli datang, Jepang menyerang China dan mendudukinya pada November 1937.

Pelajar Indonesia agak bingung dengan peristiwa ini. Jepang sering bilang "Asia demi Asia", tapi kok mencaplok China?

Juli percaya kebijakan itu bertujuan baik untuk China agar terhindar dari imperialisme Amerika dan Inggris, sesuai apa yang dijelaskan oleh pemerintah Jepang. Tapi beberapa mahasiswa meragukan penjelasan itu.

Pelajar Indonesia di Jepang kini mulai terbelah.

"...Sudah timbul dua front. Yang satu katakanlah pro-Jepang, yang lain anti-Jepang," kata Djumali Wirjosutanto, salah satu pelajar Indonesia yang datang ke Jepang pada 1938, dalam buku Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang.

Harapan pelajar Indonesia pada Jepang yang akan membebaskan negerinya dari Belanda akhirnya benar-benar punah pada 1942.

Jepang memang mengalahkan dan mengusir Belanda dari Indonesia, tapi ternyata Indonesia enggak otomatis merdeka. Indonesia justru jadi jajahan Jepang. Masa ini kita kenal sebagai masa Pendudukan Jepang.

Meski enggak percaya lagi sama pemerintah militer Jepang, para pelajar Indonesia tetap percaya pada ilmu yang diperoleh dari sana.

Ketika pulang ke Indonesia, mereka mengamalkan ilmu tersebut demi perbaikan nasib rakyat.

Menarik kan jejak pelajar Indonesia di Jepang pada masa lalu? Penuh dengan harapan, kekecewaan, tapi juga tetap percaya pada perjuangan buat mengejar ilmu dan cita-cita.

Kalau kamu di posisi mereka, kira-kira apa bakal kamu lakukan? (dru)

Baca juga:

Mengapa Indonesia Disebut Bangsa Pelaut? Ternyata Jawabannya Ada dalam Sejarah

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan