Jalur Rempah yang Menghubungkan Sejarah Dunia, Dari Perdagangan, Ilmu Pengetahuan, sampai Kolonialisme
Senin, 13 Januari 2025 -
MerahPutih.com - Halo, Guys! Pernah kepikiran enggak, mengapa makanan Indonesia itu kaya rasa? Sebabnya karena dua hal, berbumbu dan berempah.
Bumbu makanan diambil dari bagian tanaman, baik basah ataupun kering. Contoh tanamannya pala, lada, cengkeh, kayumanis, dan banyak lagi.
Sumber bumbu itu disebut juga rempah, atau produk nabati aromatik yang dikeringkan di bagian kulit, rimpang, kuncup, bunga, buah, dan bijinya.
Nah, dalam sejarah Indonesia, bahkan dunia, aktivitas manusia terkait rempah itu ternyata jadi penggerak sejarah lho.
Bayangin, karena rempahlah orang Eropa jauh-jauh datang ke Nusantara pada abad ke-16. Rempah juga yang mempertemukan leluhur kita dengan orang dari berbagai bangsa. Terus, rempah bikin orang-orang berebut keuntungan, saling menumpahkan darah, hingga memunculkan kolonialisme di Nusantara.
Kata Fadhly Rahman, sejarawan makanan lulusan Universitas Padjajaran, rempah bahkan mendorong pengembangan ilmu pengetahuan sepanjang abad ke-16 hingga ke-17.
"Mulai dari bidang kartografi hingga observasi kekayaan biodiversitas Nusantara dalam bidang botani," sebut Fadhly dalam artikel jurnalnya "Negeri Rempah-Rempah Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah" yang dimuat dalam Patanjala Vol.11 No.3 September 2019.
Oya, kartografi itu ilmu tentang pembuatan peta. Ini penting banget buat orang-orang yang mencari rempah di Nusantara.
Karena pentingnya rempah, buat bahasan kali ini, tim redaksi MP bakal mengajak kamu bertualang ke masa-masa perdagangan rempah antara awal abad ke-5 sampai abad ke-16. Yuk meluncur!
Baca juga:
Sejarah Program Makan Bergizi Zaman Sukarno, Menggugah Kesadaran Gizi Anak Sekolah
Kegunaan Rempah
Kita mulai kenalan dengan rempah. Di seluruh dunia, rempah itu digunakan untuk bumbu makanan, minuman, dan bahan obat-obatan.
Dulu pun enggak jauh beda. Yang membedakan, dulu rempah-rempah susah dicarinya. Harus melalui perjalanan panjang. Enggak heran rempah jadi komoditas mahal. Hampir kayak emas.
Mengapa?
Karena enggak semua wilayah bumi menghasilkan rempah-rempah. Nah, Kepulauan Nusantara itu sedikit dari wilayah bumi yang jadi tempat tumbuhnya tanaman rempah.

"Produk ini dihasilkan oleh berbagai daerah di kepulauan Indonesia. Banten, Sumatera bagian selatan, dan Aceh menghasilkan lada dan merica. Pulau Banda menghasilkan pala. Sementara itu cengkeh dihasilkan terutama oleh Ambon dan Ternate. Kayumanis dihasilkan oleh kepulauan Nusa Tenggara," begitu kata dua sejarawan yang namanya Profesor Djoko Marihandono dan Bondan Kanumoyoso dalam buku Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarakat Nusantara.
Rempah sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu waktu tumbuhnya peradaban kuno dunia.
"Dimulai dari segenggam cengkih yang ditemukan dalam sebuah wadah keramik yang terbakar di gurun pasir Suriah, dimana dulu di sebuah kota kecil di tepi sungai Efrat, seseorang bernama Puzurum harus kehilangan rumahnya yang terbakar hangus," cerita Jack Turner dalam buku Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme.
Peristiwa ini kayaknya kecil saja. Tapi ketika arkeolog dari zaman modern menggali reruntuhan itu, yang sekarang terletak di Irak, ceritanya jadi menyambung. Sebab mereka menemukan sisa-sisa penggunaan cengkih di rumah itu.
Kebakaran itu menurut para arkeolog terjadi pada 1721 Sebelum Masehi. Artinya dari tahun segitulah rempah sudah digunakan. Jadul banget!
Baca juga:
Perdebatan Libur Puasa Anak Sekolah, Pola Sejarah yang Berulang
Beda Jalur Sutera dan Jalur Rempah
Waktu itu rempah-rempah dari Nusantara belum dikenal. Kebanyakan rempah berasal dari India dan Srilangka. Perdagangan rempah masih lewat jalur darat. Rempah juga diperdagangkan dengan barang lainnya yang lebih mentereng, yaitu tekstil dan sutera. Karena itulah jalur itu disebut Jalur Sutera (Silk Road).
Jalur Sutera menghubungkan berbagai kawasan tempat tumbuhnya peradaban kuno kayak China, Mesir, Mesopotamia, Persia, India, Yunani, dan Romawi. Ada juga Jalur Sutera yang melalui laut antara China dan Laut Tengah. Jalurnya disebut Jalur Sutera Maritim (Maritime Silk Road).
Selama masa ini, orang juga masih menggunakan rempah sebagai bahan pengawetan mumi dan obat-obatan. Belum untuk bumbu penyedap.

Pedagang rempahnya adalah orang-orang India, China, dan Arab.
Kegunaan rempah kemudian berkembang jadi bumbu buat menutupi rasa enggak enak makanan. Selain itu juga buat pengharum makanan agar lebih sedap. Itu berlangsung ketika masuk abad-abad Masehi.
Rempah juga perlahan menjadi barang dagangan utama, menggantikan tekstil dan sutera. Nah, jalur yang membawa rempah dari produsen, distributor, dan konsumen sepanjang Nusantara hingga Eropa itulah yang disebut Jalur Rempah.
Seorang ahli geografi, matematika, dan astronomi dari Aleksandria, Mesir, yang namanya Ptolomeus, mencatat jalur perdagangan rempah melalui rute Venezia (Italia), Aleksandria, Teluk Aden (Yaman), India, Barus, China, lalu Kembali ke Venezia.
Barus itu nama tempat di pesisir barat Sumatera. Namanya diambil dari barang yang tumbuh di sana, tapi laku banget untuk pasaran dunia, yaitu kapur barus (Cinnamomum camphora). Gunanya buat pengharum. Selain Barus, ada barang lainnya yang juga harum, yaitu cengkih dan pala.
Menurut Fadhly, perdagangan cengkih dan pala dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-8 sampai 10.
"Kerajaan ini mengontrol seluruh lintas laut Barat dan Tiongkok menuju rute kepulauan rempah-rempah di Maluku dan Selat Malaka."
Baca juga:
Manusia sebagai Subjek, Objek, dan Saksi Sejarah, Mengungkap Kisah di Balik Perubahan Zaman
Demi Rempah Lawan Rasa Takut
Enggak semua pedagang tahu bagaimana cara mendapatkan rempah-rempah langsung ke sumbernya. Sebab, jalur menuju daerah penghasil rempah dirahasiakan. Tujuannya mengurangi saingan. Kalau saingan sedikit, pedagang bisa punya untung lebih.
Yang tahu jalur itu baru pedagang Tionghoa dan India. Mereka tahu bahwa Maluku lah pusat rempah-rempah. Rutenya melewati Banda, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Selat Malaka, India, Teluk Persia, dan Laut Merah. Semua ditempuh lewat laut.
Orang Eropa, misalnya penjelajah seperti Marcopolo dan Tome Pires, tahunya bahwa rempah itu dijual di Jawa (Banten) dan Malaka. Padahal barang itu enggak semuanya tumbuh di Jawa dan Malaka.

Jawa dan Malaka itu cuma kota pelabuhan besar yang melayani perdagangan jarak jauh. Disebut juga sebagai emporium. Jadi, rempah dari Maluku dibawa ke Jawa dan Malaka, baru setelah itu sampai ke pasaran dunia.
Mengapa Jawa dan Malaka jadi emporium?
Karena kapal pembawa rempah enggak bisa sekali jalan langsung ke tujuan yang jauh banget kayak ke India atau Eropa. Mereka juga harus berlabuh di pelabuhan itu untuk menukar barang dagangan dan mengisi perbekalan.
Selain itu yang paling utama, mereka menunggu angin yang berhembus ke Barat (Eropa). Angin ini disebut Angin Musim (Muson) Timur dan berhembus sepanjang April-Agustus.
Orang Eropa akhirnya tahu bagaimana bagaimana cara dapat rempah-rempah langsung ke sumbernya pada abad ke-16. Ini enggak lepas dari situasi di Eropa.
Sejak abad ke-15, Konstantinopel (sekarang Istanbul) jauh ke tangan Kekhalifahan Islam Utsmani. Wilayah ini termasuk yang menghubungkan perdagangan Asia dengan Eropa. Karena Konstantinopel direbut, pedagang Eropa yang kebanyakan Kristen kesusahan berdagang. Termasuk mengambil rempah-rempah yang bakal dijual di Eropa.
Orang Eropa butuh rempah karena ingin makanannya kaya rasa. Kata Murdjiati-Gardjito, seorang ahli makanan, saat itu cita rasa makanan yang dinikmati manusia berubah.
"Semula hanya terdapat rasa manis, asam, asin, dan pahit, namun kemudian dikenal aroma sedap, cita rasa pedas, dan sangat nikmat serta memuaskan," kata Murdjiati di artikelnya "Gastronomi Indonesia yang Memesona" yang dimuat dalam Jurnal Prisma Volume 40, 2021.
Perubahan rasa itu karena penggunaan rempah-rempah dari Kepulauan Nusantara. Nah, setelah Konstantinopel jatuh, pasokan rempah-rempah Eropa berkurang.
Mau enggak mau, orang Eropa harus berani bertualang sendiri, menaklukkan rasa takutnya. Padahal sebagian besar mereka masih percaya dunia itu rata.
Kalau berlayar jauh, mereka percaya bakal jatuh di ujung dunia. Namun keinginan bisa menggunakan rempah, mengalahkan rasa takut itu.
Mereka mulai berani berlayar jauh dan mencari tahu rute menuju pulau penghasil rempah. Untuk mencapai tujuannya, mereka harus berbekal peta. Tanpa peta, mereka mustahil sampai. Malah bakal kesasar.
Baca juga:
Apa sih Guna Sejarah? Dari Mengangkat Orang-Orang Kecil sampai Fondasi untuk Bangun Masa Depan
Segala Cara Cari Rempah
Orang Portugis dan Spanyol jadi bangsa Eropa yang duluan sampai di Kepulauan Maluku dan Banda dengan peta dan Angin Musim Barat yang bertiup dari Eropa ke Asia selama Oktober-Februari pada awal abad ke-16.
Saking ingin menguasai rempah-rempah di Nusantara, orang Portugis menyimpan rapat-rapat rute menuju Maluku dan Banda.
Orang Eropa lainnya, kayak Italia, Belanda, dan Jerman, harus cari cara lain supaya dapat bocoran rute ke Maluku dan Banda. Ini dilakukan oleh orang Belanda bernama Jan Huygen van Linschoten yang berpura-pura jadi sekretaris biarawan selama 1583-1588.

Penyamaran van Linschoten berhasil. Dia dapat bocoran rute menuju Maluku dan Banda.
Petrus Plancius, orang Belanda juga, ikut-ikutan pakai cara kotor dengan menyogok orang-orang Spanyol agar mau kasih tahu rute menuju pulau penghasil rempah. Dia juga berhasil.
Berbekal peta bocoran Plancius, Cornelis de Houtman, penjelajah dari Belanda, berhasil sampai ke Banten pada 1596.
Akhirnya, orang-orang Eropa mulai tahu rute menuju pulau penghasil rempah. Dari sini lah sejarah kita bakal bergerak menuju pengalaman baru, yaitu kolonialisme bangsa Eropa.
Tapi cerita itu bakal dilanjut lain waktu. Sementara kita sudahi sampai sini petualangan seru ini.
Sambil menunggu cerita berikutnya, kamu bisa mencicipi makanan orangtua atau restoran yang dibumbui dari rempah! (dru)
Baca juga:
Apa Itu Sejarah, Pengertian, dan Asal-Usulnya: Cerita Seru di Balik Masa Lalu Kita!