Iklim Investasi di Pembangkit Listrik Makin Tidak Stabil
Selasa, 21 November 2017 -
MerahPutih.com - Surat Dirjen Ketenaganlistrikan yang meminta PT PLN (Persero) untuk meninjau ulang seluruh kontrak yang sudah menandatangani kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) menimbulkan kegoncangan dikalangan investor dan dunia usaha.
Pengamat Energi Listrik, Fabby Tumiwa, mengatakan, surat tersebut membuat iklim investasi di ketenagalistrikan nasional makin tidak stabil.
"Surat itu menimbulkan ketidakpastian bagi swasta dan investor. Iklim investasinya makin tidak stabil. Ke depan, siapa lagi yang bisa percaya kalau negara ini butuh investasi listrik ke depan,” kata Fabby dalam rilis yang diterima pada Selasa (21/11).
Dikatakannya, surat tersebut menimbulkan preseden buruk sebab muncul ketidakpastian regulasi di Tanah Air. Sebagaimana diketahui, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyurati Direktur Utama PLN Sofyan Basir.
Kementerian ESDM pun meminta agar PLN meninjau kembali kontrak jual beli PLTU berskala besar yang berlokasi di Jawa. Peninjauan kontrak jual-beli pembangkit listrik ini hanya untuk proyek yang belum masuk tahap konstruksi atau belum mendapatkan Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU) dari Kementerian Keuangan.
Dikatakan Fabby, 15 hingga 20 tahun lalu, tidak ada swasta yang berani berinvestasi pembangkit di Indonesia. Pihak swasta hanya berani berinvestasi bila ada jaminan dari pemerintah.
"Sebab iklim investasinya dan regulasi saat itu sangat buruk. Kalau tidak ada jaminan, tidak ada yang berani," ujarnya.
Namun, kemudian pemerintah mulai melakukan perbaikkan iklim usaha dengan membuat regulasi yang bersahabat dengan dunia usaha.
"Kemudian baru masuk banyak pihak swasta," ucap dia.
Namun, dalam dua tahun terakhir, iklim dan regulasi semakin mempersulit dunia usaha. Dunia usaha yang meminta insentif justru diberikan regulasi yang semakin mempersulit dan sering berubah-ubah.
"Investasi swasta di negara ini sama sekali tidak ada regulasi yang memproteksinya. Tidak ada regulasi yang menjadi dasar pijakan bersama. Sangat tergantung mood dari menteri atau pejabatnya," pungkas Fabby.
Sejalan dengan Fabby, Ketua Harian APLSI Arthur Simatupang mengatakan, selama ini berbagai perubahan kebijakan yang tertuang dalam regulasi cukup menghambat swasta dalam membangun pembangkit listrik.
Padahal, kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla menargetkan megaproyek pembangkit berkapasitas 35 ribu MW selesai pada 2019 dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen. Namun, pemerintah merevisi target itu bukan sampai 2019, tetapi hingga 2024 mengingat pertumbuhan ekonomi di dalam negeri masih di bawah 7 persen.
Sebagaimana diketahui, PLN siap mengevaluasi sejumlah PPA yang dibangun di Pulau Jawa dan belum memasuki tahap konstruksi atau belum mendapatkan surat jaminan Kelayakan Usaha (SKJU) dari Kementerian Keuangan.
Ada dua pembangkit yang sudah dalam tahap evaluasi yakni ke PLTU Jawa 3 berkapasitas 1.200 Megawatt (MW) dan PLTU Cirebon Expansion 2 dengan kapasitas 1.000 MW. PLN melobi agar IPP pembangun pembangkit menjual listriknya dengan harga di bawah US$ 6 sen per kWh. (*)