Hasrat Tari tak Kunjung Padam Bulantrisna Djelantik

Sabtu, 05 Mei 2018 - Dwi Astarini

SEHELAI kain gringsing melilit dada perempuan itu. Kebaya hitam dengan lilitan kain hitam sederhana melekat di tubuhnya. Rambutnya yang mulai memutih digelung kecil di belakang. Sebaris bunga putih menghiasinya. Senyum teduh menghiasi wajahnya. Dialah Bulantrisna Djelantik, seorang maestro tari Legong asal Bali.

Merahputih.com menemui sang maestro tari kelahiran Deventer, Belanda, 8 September 1947, itu dalam sebuah peluncuran produk patung porselen. Kehadiran Bulantrisna pada peluncuran itu tak lain karena ia merupakan salah seorang kolaborator dalam pengerjaan koleksi patung yang diberi nama Enchanting Legong. Ya, dari namanya saja sudah bisa diketahui bahwa patung porselen itu menampilkan tari Legong sebagai inspirasinya.

Koleksi Enchanting Legong yang dibuat produsen porselen premium asli Indonesia, Nuanza Porcelain Indonesia, itu menampilkan sejumlah gesture gerak penari Legong yang luwes. Ide pembuatan patung porselen Legong itu sudah sekian lama dipendam pihak Nuanza. "Awalnya mereka yang mendekati saya. Baru pada 2013 bisa bertemu. Itu pun saya sempatkan di sela-sela acara," kenang Bulantrisna.

Berkolaborasi dalam proyek Enchanting Legong. (foto: Istimewa)

Pemilihan Bulantrisna sebagai inspirasi di balik koleksi tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Cucu raja terakhir Karangasem tersebut telah 60 tahun lebih menggeluti dunia tari. Bulantrisna mulai menunjukkan minat menari di usia yang amat muda, 3 tahun. Ia bercerita bahwa di banyak foto, ia tampak menampilkan gerak-gerak tari yang notabene belum pernah ia lihat. "Padahal, belum pernah lihat orang menari Bali. Kan saya tidak tinggal di Bali," kenangnya.

Demikianlah, Bulantrisna kecil telah menunjukkan hasratnya lewat gerakan. Hingga usia 6 tahun, ia tinggal di Sulawesi mengikuti ayahnya yang berprofesi sebagai dokter. Ketika kembali ke Bali, Bulantrisna mendapat kesempatan untuk belajar menari. Sang kakeklah yang mengenalkannya kepada dunia tari. Meski Bulantrisna tinggal di Bali bagian utara, yakni Singaraja, sang kakek yang tinggal di Bali bagian timur, yaitu Karangasem, tetap memanggilkan guru tari khusus untuk melatih cucu-cucunya. "Jadi latihan menarinya hanya saat liburan," ujarnya.

bulantrisna
Bersama sang kakek. (foto: Istimewa)

Meskipun hanya belajar tari di waktu yang terbatas, ibu tiga anak ini menunjukkan bahwa bakat tari memang ada dalam dirinya. Ia cepat bisa menguasai gerak tari Bali yang diajarkan. Demi melihat bakat dan kegemaran sang anak, orangtua Bulantrisna pun merelakan Bulantrisna muda untuk tinggal di rumah sang paman di Karangasem. "Itu pertama kali saya dipisah dari orangtua, usia saya 7 tahun waktu itu. Karena sebegitu senangnya saya menari," katanya.

Perjalanan Bulantrisna di dunia tari berlanjut. Di usia 8 tahun, ia sudah tampil menari di panggung. Ketika orangtuanya bersekolah ke Belanda, Bulantrisna yang baru berumur 9 tahun tetap menari di sana. Ia bahkan tampil di panggung di Belanda dan London. Sepulang dari mancanegara, orangtua Bulantrisna yang meskipun tidak berkecimpung di bidang tari malah senang melihat ketertarikannya pada dunia tari.

Saat itulah diputuskan bahwa Bulantrisna harus belajar dari para maestro tari pada masa itu. I Mario mengajarkan tari Oleg, Pak Kakul membimbingnya untuk mendalami tari laki-laki, Biang Sengog, dan Anak Agung Mandra mengajarkannya tari Legong. Dari para maestro itulah Bulantrisna mengembangkan bakat tarinya. Tawaran tampil berikutnya datang dari grup tari Legong di Peliatan, Ubud. Sejak usia 10 tahun, ia rutin menari dua kali seminggu untuk wisatawan maupun upacara keagamaan.

Menari di Belanda di usia 9 tahun. (foto: Istimewa)

Meskipun sibuk menari, penari yang juga berprofesi sebagai dokter ini tidak meninggalkan bangku sekolah. Bahkan, ia mengaku tetap menari di malam hari biarpun esoknya ia harus mengikuti ujian sekolah. Nilainya tetap bagus biarpun ia lebih sibuk menari. Hal itu membuat kedua orangtuanya terheran. "Mungkin karena menari nilai saya jadi bagus," ujarnya seraya tertawa.

Penari Istana

Kiprah tari Bulantrisna tak berhenti di panggung untuk turis dan acara keagamaan. Ia sudah tampil menari di Istana Tampak Siring di hadapan Presiden Soekarno sejak usia 10 tahun. "Ada lo foto saya bersama Bung Karno," kenangnya. Sebagai penari cilik, ia kemudian diundang menari di Istana Merdeka, Jakarta. Bersama anak-anak Bung Karno, Megawati, Rahma, dan Sukma, ia menari di hadapan kepala negara Vietnam yang kala itu berkunjung. "Mereka menari Jawa, saya menari Bali. Saya ini seumuran dengan Mega," ujarnya.

Menari di Istana Merdeka pada 1959. (foto: Istimewa)

Punya orangtua yang amat mendukung kegemaran dan bakatnya membuat Bulantrisna amat bersyukur. Ia bisa terus menari dan bersekolah hingga perguruan tinggi. Menjalani masa kuliah kedokteran di Bandung, Bulantrisna tak lantas meninggalkan dunia tari. Ia tetap menari, bahkan mengajar juga. "Saya bersyukur kedua orangtua mendukung. Bahkan ayah saya kemudian ikut berkecimpung di dunia seni," katanya.

Menampilkan tari Legong di hadapan Kaisar Hirohito. (foto: Istimewa)

Kegairahannya akan dunia tari tak pernah padam. Meskipun demikian, ia pernah juga mengalami masa bingung antara memilih studi atau menari. Untungnya, nilai yang ia raih selalu bagus sehingga menari bisa jalan terus. Selama di Bandung, ia mulai mengajar menari hingga pada 1994 ia mendirikan bengkel tari yang dinamai Ayu Bulan. Lewat bengkel tari yang ia dirikan tersebut, Biang--sapaan akrab Bulantrisna--mengkreasikan tari Legong agar bisa mengikuti perkembangan zaman. "Pada 1996, saya membuat kreasi drama tari Legong Asmarandana. Kalau drama tari lebih diluaskan, lebih panjang dan penari lebih banyak," jelasnya. Tak berhenti di satu karya, ia kemudian membuat Legong Mintaraga, yakni Legong komposisi enam orang. Kemudian muncul juga tarian Legong massal di Bali.

Bersama maestro tari Jawa Retno Maruti, Biang mengomposisikan dan menarikan sendratari Bedoyo Legong Calonarang. "Bedoyo dan Legong sama-sama tari yang tercipta dari mimpi. Jadi dikolaborasikan," ujarnya.

Bergeser ke Belakang Panggung

Di usia yang tak lagi muda, Biang mengaku sudah ingin mundur dari dunia panggung. "Stamina sudah enggak memungkinkan," ujarnya tersenyum.

Meskipun demikian, ia tak mau jauh dari dunia tari. Fokusnya kini lebih pada mengajarkan, mengenalkan, memberi pendalaman, dan mengembangkan tari Legong. Tujuan itulah yang membuatnya menyambut baik ide Nuanza membuat patung porselen Legong. Baginya, kreasi porselen itu menunjukkan bahwa Legong itu bukan tari murahan. Selain itu, adanya patung itu menjadi presentasi dan pengenalan Legong kepada khalayak umum. Dengan begitu, Legong makin dikenal. Ia bahkan menyebut dirinya mengajar Legong urban. Hal itu lantaran ia mengajarkan tari klasik Bali itu di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. "Legongnya juga berbeda. Tapi membuat kreasi semoga nantinya akan merangsang seniman Bali untuk berkarya. Sehingga tari ini bisa digemari kaum muda," jelasnya.

Legong urban yang dimaksud Bulantrisna tidak lantas menghilangkan pakem tradisional Legong. Beberapa kreasi dalam tampilan, seperti kostum, memang dibuat, tapi pakem tradisi tetap ia pertahankan. Dalam mengajarkan Legong kepada muridnya, ia pun berusaha menekankan pentingnya wirama (irama, musik), wiraga (gerak olah tubuh), dan wirasa (perasaan, penghayatan). "Bagaimana saya harus memunculkan wirasa ini kepada murid saya. Saya harus bercerita sejarah Legong agar muncul penghayatan mereka," jelasnya. Itulah tantangan dalam menguasai Legong, karena menurutnya tak mudah bagi warga urban untuk menguasai wirasa. Dibutuhkan waktu hingga sampai ke tahap penghayatan.

Masih aktif mengajar di bengkel tari Ayu Bulan. (foto: Istimewa)

Hingga kini, Bulantrisna masih aktif mengajar menari. Meskipun tak selalu turun tangan langsung, ia tetap memberikan bimbingan pendalaman Legong kepada para siswanya. Semangat dan hasrat tari yang ia pendarkan begitu terasa. Indri, salah seorang siswa Bulantrisna, mengaku amat bersemangat tiap kali Biang datang ke tempatnya berlatih di Gedung Energi. "Kalau latihan enggak ada Biang, ya latihan aja. Tapi, kalau Biang datang, rasanya beda. Semangat. Nari pun jadi serius," ujarnya ketika ditemui Merahputih.com di kesempatan yang sama. Biang pun tertawa mendengar pengakuan siswanya. "Iya, kalau saya ngajar kan beda. Tangannya saya pegang, posisi badan saya perhatikan baik-baik. Kalau saya datang, mereka senang sekali," jelasnya.

Usia boleh saja bertambah, fisik bisa saja menurun, atau stamina bisa saja tak lagi prima, tapi hasrat menari Bulantrisna tak sedikit pun meredup. Bak cahaya lentera, nyalanya makin terang. Mundur dari panggung malah mendorong Bulantrisna untuk berbuat lebih bagi perkembangan tari Legong. Baginya, menari merupakan gairah hidup, kesenangan, membahagiakan, dan berdoa juga. "Buat saya, menari juga menyembuhkan. Itulah mengapa autobiografi saya bertema dance is healing. Sedang digarap, isinya foto-foto menari saya dari masa kecil. Satu atau dua tahun lagi lah terbitnya," tutupnya.(dwi)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan