Haringga 'Tumbal' Budaya Amok, Kultur Kekerasan Nusantara yang Abadi di Kamus Oxford
Selasa, 25 September 2018 -
HARINGGA Sirilia merenggang nyawa setelah dikeroyok massa oknum suporter Persib di area lapangan parkir stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Minggu kemarin, tanggal 23 September. Suporter setia Persija Jakarta yang baru 23 tahun itu tewas mengenaskan.
Warga Cengkareng, Jakarta Barat ini dipukuli menggunakan balok kayu hingga helm. Kucuran darah tak menghentikan aksi para pengeroyok. Massa malah terlihat semakin buas menyerang korban yang sudah tak berdaya. Mungkin menjadi pertanyaan besar, mengapa masyarakat Indonesia yang identik dengan kesatunan dan keramahan adat ketimuran bisa berubah menjadi manusia buas tega mencabut nyawa sesama.
Tragedi tewasnya Haringga, yang tercatat sebagai tumbal kisruhnya sepakbola nasional ke-63 itu, menjadi contoh nyata racun budaya kekerasaan mengendap di masyarakat. Layaknya bom waktu siap meledak memangsa siapa saja dan di mana saja, tanpa pandang bulu. Mau tak mau harus diakui, kasus kematian Haringga akibat kekerasan suporter memang lahir dari kultur masyarakat Indonesia sendiri.
Kisah orang yang diteriaki maling kemudian tewas dipukuli massa, bahkan dibakar hidup-hidup jamak ditemui di negeri ini. Padahal belum tentu korban benar-benar maling seperti yang dituduhkan. Bahkan, kalaupun benar maling, layak kah dia harus kehilangan nyawa dengan cara biadab seperti itu?
Parahnya lagi, mayoritas pelaku penganiaya massa itu belum tentu tahu benar duduk perkaranya. Mereka hanya terprovokasi sesama pengeroyok lain yang lagi-lagi mungkin sama-sama tidak tahu kebenarannya. Hanya karena teriakan mayoritas lainnya, mereka bisa langsung bertindak sebuas-buasnya manusia. Mereka seolah punya pembenaran untuk melakukan amuk massa yang berujung hilangnya nyawa anak manusia.
Kultur Kekerasan Sejak Abad 16
Fenomena amuk massa sebagai budaya asli Indonesia sudah dikenal luas di dunia literasi internasional dengan kata “amok”. Dilansir dari Geotimes, penulis sejarah Rahadian Rundjan menyebutkan masyarakat Barat pertama kali mengenal istilah Amok dari pedagang Portugis yang datang ke Nusantara pada abad ke-16.
Menurut dia, penjelajah Portugis, Duerte Barbosa, pada tahun 1518 menulis bahwa, “ada beberapa orang Jawa yang berkeliaran di jalan dan membunuh sebanyak mungkin orang yang mereka temui. Hal ini disebut dengan Amuco.”
Masih dari tulisan yang sama, disebutkan Jean-Baptiste Tavernier, pedagang permata asal Prancis yang berlabuh di Banten tahun 1648, mencatat hal yang kurang lebih sama (jouit a Moqua). Dalam magnum opus Thomas Stamford Raffles, The History of Java, kata “amok” juga muncul beberapa kali.
Literasi lainnya menyebut steriotipe masyarakat melayu yang memang malas mencari tahu sebab-musabab, mudah latah, dan doyan kekerasan kian memicu mengakarnya budaya Amok. Belum lagi ditambah karakter pandai memendam amarah yang bisa meledak setiap saat tanpa terduga. Budaya lokal yang penuh kekerasan itu begitu melekat di benak para bangsa penjajah.
Abadi di Kamus Oxford
Saking terkesannya masyarakat barat akan budaya amok di Indonesia sampai-sampai mereka tak mampu mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa Inggris. Wajar akhirnya, Amok yang dilafalkan Amuck masuk dalam pembedaharaan kata kamus Oxford sejak berabad-abad silam. Dalam laman en.oxforddictionaries.com, Amok diartikan Behave uncontrollably and disruptively (perilaku yang tidak terkontrol dan merusak).
Lagi-lagi Rahadian menyebutkan psikolog telah menetapkan “amok” sebagai bentuk gangguan kejiwaan, meski masyarakat kita masih kerap mengkambinghitamkan masuknya makhluk halus ke dalam tubuh sebagai alasan. Di Indonesia, kasusnya sudah begitu sering terjadi, baik dalam sejarah ataupun kontemporer. "Saya pikir “amok” adalah elemen budaya kita, yang negatif tentunya," tulis dia.
Analogi yang disampaikan peneliti sejarah asal Depok itu sangat mungkin terjadi saat amok massa yang berujung pada kematian Haringga. Dalam video amatir yang beredar, tidak sedikit suporter Persib yang masih di bawah umur ikut menendang ataupun melempari tubuh korban. Apa mungkin gerombolan anak usia tanggung itu dengan kesadaran penuh memaknai rivalitas Persija Vs Persib sehingga tega melakukan aksi di luar batas kemanusiaan?
Berani Berubah
Aksi kekejaman yang sungguh absurd jika hanya didasari rivalitas bobotoh dan The Jak dalam mendukung tim kesayangan masing-masing. Harus diakui sejarah membuktikan mengamuk adalah bagian dari sistem kehidupan kita. Fakta sosial yang harus diterima dengan lapang dada demi kesadaran untuk berubah menjadi bangsa yang lebih beradab.
Sampai kapan lagi kita mau bersembunyi di balik kemunafikan keramahtamahan masyarakat Indonesia, padahal terpendam benih-benih kemarahan yang bisa meledak kapan saja? Apakah mau sampai cucu dan cicit kita sendiri yang menjadi korban amukan massa seperti Haringga? (*)