Film Pengkhianatan G30S/PKI, Film Sejarah Versi Orba

Senin, 18 September 2017 - Yudi Anugrah Nugroho

FILM Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara Arifin C Noer kembali menjadi buah bibir lantaran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) menginstruksikan melalui pesan singkat kepada seluruh prajuritnya untuk menggelar film tersebut.

Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigadir Jendral Wuryanto membenarkan informasi tersebut dan menilai pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI sangat baik untuk generasi muda belajar memahami sejarah sebab dibuat berdasarkan fakta sejarah dan melibatkan berbagai pihak, dari mulai ahli hingga pelaku sejarah.

Pemutaran film tersebut sesungguhnya sudah tidak lagi wajib diputar di televisi sejak September 1998. Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, berujar bahwa pemutaran film bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, Serangan Fajar sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.

“Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI,” ujar Yunus seperti dikutip harian Kompas 24 September 1998.

Selain tidak sesuai dengan semangat reformasi, pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI juga dinilai tidak sesuai dengan fakta sejarah seputar peristiwa 65.

Sebelum reformasi, film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi tontonan wajid jelang malam 30 September, dan bagi siswa sekolah akan mendapat tugas mengulas jalan film dengan adegan awal berisi kekejaman aksi-aksi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Ilustrasi musik nan muram garapan Embi C Noer pun, semakin menambah kesan seram.

Semakin larut, adegan-adegan kekejaman di daerah Lubang Buaya sebagai ‘sarang PKI’ semakin menjadi-jadi. Pesan film jelas, PKI melakukan kejahatan besar.

Bagaimana fakta sejarah pada film tersebut?

Meski menahbiskan diri sebagai film sejarah, beberapa adegan justru tidak sesuai fakta sejarah, semisal gambaran organisator G30S sebagai kumpulan konspirator licik nan kejam, merancang aksi secara teliti hingga gerakan pamungkas.

“Jika seseorang membuat film berdasarkan analisis Supardjo, karyanya tidak akan terlihat seperti film pesanan rezim Soeharto. Analisis Supardjo mengungkapkan bahwa para konspirator itu sama sekali gelagapan, bimbang, dan berantakan. Mereka lebih seperti pemain amatir canggung, dengan langgam tragis memainkan komedi kesalahan,” tulis John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.

John Roosa menggunakan keterangan tertulis Brigadir Jendral Supardjo, saat peristiwa 1965, berjudul ‘Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja G30S Dipandang Dari Sudut Militer’ sebagai salah satu fakta sejarah penting karena Supardjo merupakan salah satu pelaku sejarah kunci pada peristiwa tersebut.

Meski digarap menggunakan jasa sejarawan kawakan seperti Nugroho Notosusanto, Rokhmani Santoso dan Suranto Sutanto, film tersebut gagal memberikan sejarah secara utuh. Hanya berdasar versi resmi pemerintah.

“Semacam film sejarah yang menukik. Saya kecewa. Ternyata film ini jauh dari bayangan saya tentang sebuah tuturan sejarah. Malah berlebihan terlihat menonjolnya peran pak Harto,” ujar Nani Nurrachman Sutojo, putri Sutojo Siswomihardjo, salahsatu dari tujuh perwira Angkatan Darat yang menjadi korban pembunuhan pada dinihari 1 Oktober 1965, dalam buku suntingan Imelda Bachtiar berjudul Saya, Ayah dan Tragedi 1965.(*) Achmad Sentot

Simak pula artikel terkait:

KPAI: Film Pengkhianatan G30S/PKI Tidak Layak DItonton Anak-Anak

Film G30S/PKI Bakal DiputarDi Tiap Koramil

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan