Dongeng Malin Kundang: Petuah Rakyat Minang yang Mulai Meredup

Minggu, 19 Maret 2017 - Selvi Purwanti

Gelap matanya yang silau oleh gemerlap tahta dan duniawi, membuat Malin Kundang menjadi manusia yang terkutuk. Sepanjang masa ia hanya menjadi sebuah batu yang dipertontonkan untuk seluruh pewaris jagat.

Ini adalah legenda dari Tanah Minang, Sumatera Barat; yang juga sebagai petuah bahwa seorang ibu adalah sang pendoa yang mujarab, lebih sakti dari seribu dukun, lebih ampuh dari ribuan larik mantra, dan lebih hebat dari raja-raja di dunia. Namun sayang, dongen petuah rakyat Minang yang melegenda ini sudah mulai meredup.

Kisah ini bermula ketika suatu hari Malin Kundang bersama ibunya ditinggal melaut oleh ayahnya. Namun, sejak meminta izin melaut untuk mencari nafkah, Ayah Malin tidak kunjung pulang. Hingga akhirnya, sang ibu harus berusaha mencari nafkah sendiri untuk menghidupi anak semata wayangnya.

Malin merupakan anak yang pandai, meski ia sedikit nakal. Ia senang mengejar ayam dan memukul ayam dengan sapu. Hingga pada suatu ketika ia jatuh ketika mengejar ayam dan terdapat luka di lengannya yang tidak bisa hilang.

Ketika beranjak dewasa, Malin merasa sedih melihat ibuya bekerja keras sendirian. Ia merasa kasihan dan akhirnya memutuskan untuk mencari nafkah merantau ke negeri seberang dan berharap pulang nanti ke kampung halamannya ia bisa menjadi orang kaya raya.

Setelah meminta izin dari ibunya, kemudian Malin berangkat mengikuti seorang nakhoda kapal untuk pergi berlayar. Awalnya sang ibu tidak setuju. Namun kahirnya mengizinkan Malin untuk pergi merantau, meski dengan berat hati. Sang ibu mengantar kepergian Malin dengan linangan air mata. Ibu berpesan agar Malin tidak melupakannya apabila ia sudah menjadi orang kaya raya.

Selama berlayar di lautan ia banyak belajar serta mendapatkan pengalaman. Di tengah perjalanan, kapal yang ditumpangi Malin dirampok sekawanan bajak laut dan awak kapal lain dibunuh.

Beruntungnya Malin bisa selamat karena ia bersembunyi di ruang kecil yang tertutup kayu. Malin terkatung-katung di tengah lautan hingga akhirnya ia terdampar di sebuah pantai. Malin berjalan ke dalam pulau tersebut dan menemukan sebuah desa di pulau tersebut.

Lalu Malin pun meminta pertolongan dari warga desa sekitar. Setelah mendapat pertolongan, akhirnya Malin tinggal di desa yang subur itu. Di sana Malin bekerja dengan giat hingga ia menjadi seseorang yang kaya raya. Karena ia sudah menjadi orang kaya, Malin pun menikahi seorang gadis di desa tersebut.

Lalu cerita tentang kesuksesan dan pernikahan Malin pun terdengar oleh ibunya di kampung halaman. Sang ibu merasa bahagia dan bersyukur karena anaknya sudah sukses. Ibu Malin pun dengan setia menunggu kepulangan anaknya di dermaga setiap hari. Ia berharap anaknya akan pulang ke kampong halaman dan bertemu dengannya.

Tak beberapa lama kemudian setelah ia menikah, Malin dan istrinya pun melakukan perjalanan dengan kapal pesiar. Saat itu, ibu Malin melihat kapal yang indah itu dari dermaga. Sang ibu melihat ada dua orang di kapal tersebut dan ia yakin jika itu adalah Malin dan istrinya.

Dengan hati yang sangat bahagia sanga ibu terus menatap ke arah kapal tersebut. Ketika turun dari kapal, sang ibu menyambut Malin dengan rasa bahagia dan bangga. Ia melihat bekas luka di lengan Malin sehingga ia yakin betul bahwa itu adalah anaknya, Malin yang sudah beberapa lama pergi merantau meninggalkannya.

Sang ibu lalu memeluk Malin. Namun, Malin malah melepaskan pelukan itu dan mendorong ibunya sampai jatuh tersungkur. Tak hanya sampai di situ, setelah mendorong ibunya, Malin juga memaki sang ibu dan mengucapkan kata-kata yang kasar serta melukai hati ibunya.

Melihat kejadian itu, istrinya pun bertanya apakah benar itu ibunya. Namun, Malin tidak mengakuinya. Ia mengatakan bahwa orang itu hanyalah pengemis yang mengaku-ngaku sebagai ibunya demi mendapatkan hartanya. Mendengar hal tersebut, ibu Malin murka.
Ia merasa diperlakukan semena-mena oleh putra kandungnya sendiri. Ia terkejut bahwa anaknya kini menjadi durhaka. Dengan amarah, ibu Malin berdoa kepada Tuhan untuk mengutuk pria di hadapnnya itu menjadi batu jika benar ia adalah anaknya, Malin Kundang.

Selang beberapa menit, terdengar suara gemuruh angin kencang dan badai yang menghancurkan kapal Malin. Perlahan-lahan tubuh Malin menjadi kaku dan membentuk batu yang sedang bersujud.

Namun, melihat putranya yang telah berubah menjadi batu. Ibunya pun sangat menyesal dengan ucapannya tersebut. Tetapi Malin Kundang sudah tidak bisa lagi kembali menjadi manusia seperti sedia kala.

Nah seperti itulah kisah anak durhaka Malin Kundang yang tidak mengakui Ibu kandungnya sendiri yang telah melahirkannya dan membesarkannya hingga ia bisa menjadi seseorang yang kaya raya.

Dari kisah Malin Kundang ini, beberapa pesan moral bisa kita ambil seperti. Hormatilah dan sayangilah orangtuamu terutama ibumu. Cintai dan sayangi mereka, seburuk apapun mereka.

Selagi kita masih bisa melihat dan menyentuh tubuhnya, jangan sampai ketika telah tiada, kita baru menyadari betapa pentingnya mereka bagi hidup kita. Dan, utamakan lah ibumu lebih dari apapun sebab surga ada di bawah telapak kaki ibu. Dan Anda tidak akan bisa menjadi seseorang yang sukses tanpa dukungan serta doa dari orangtua, terutama doa seorang Ibu. Karena restu Allah SWT terletak pada restunya seorang Ibu.

Bagikan

Baca Original Artikel

Berita Terkait

Bagikan