Cerita Kali Pertama Teguh Karya Membuat Film, Dari Lupa Bilang "Action" dan "Cut" Hingga Modal Nekat!
Sabtu, 23 September 2017 -
NEKAT namun rasional. Sefrasa penuh kotradiksi tersebut menjadi pedoman Teguh Karya memasuki dunia sinematografi.
Bila kebanyakan orang berbuat nekat justru untuk menabrak kaidah rasional, semisal karena terpojok tak ada pilihan, Teguh Karya justru menilai kenekatan harus berdasar perhitungan rasional, paling tidak harus berbuah kesuksesan.
“Nekat, namun rasional, jangan konyol. Saya berani bikin film juga dengan kenekatan seperti ini. Berangkatnya pun dengan modal sangat minim,” ungkap Teguh Karya, dikutip Kompas, 24 Oktober 1993.
Pria kelahiran Maja, sekira 6 kilometer Pandeglang, Banten, Jawa Barat, 22 September 1937, nekat membuat produksi film dengan pengetahuan dan modal minim agar secara hitungan rasional rekan-rekan ‘anak asuh’ di Teater Populer tetap bisa hidup.
Di awal tahun 1970-an, menurut Teguh Karya, hidup dari teater tidak bisa menghasilkan kebutuhan hidup sehari-hari, meski Teater Populer telah memiliki komunitas penoton tetap. Gaji sebagai karyawan Hotel Indonesia memang cukup untuknya, tetapi dia berpikir bagaimana dengan anak-anak Teater Populer? Mereka hanya menggantungkan hidup pada kesenian?
“Saya bilang, kita bikin film! Enggak meniru siapa-siapa, langsung bikin skenario. Jadilah Wajah Seorang Laki-Laki,” ungkapnya.
Film tersebut mengangkat latar cerita Batavia abad-19, mengisahkan tentang pencarian jati diri seorang pemuda keturunan Portugis, Amallo (Slamet Rahardjo), di dalam perselisahan terhadap sang ayah, Umbu Kapitan (WD Mochtar) lantaran menyianyiakan sang ibu. Perselisihan berubah menjadi pemberontakan terhadap sang ayah, si kumpeni, hingga si anak tewas di ujung senapan Umbu Kapitan.
Wajah Seorang Laki-Laki, menurut Nano Riantiarno dalam Teguh Karya & Teater Populer; 1968-1993, tak hanya merupakan jejak perdana Teguh Karya di dunia sinematografi, tercatat pula kali pertama aksi Slamet Rahardjo beradu peran di layar lebar sebagai pemain film. Produksi film tersebut meghabiskan dana 28 juta, dengan rincian 60% berasal dari kocek pribadi Turino Junaidy, bos Sarinande Film, sementara 40% berpangkal pada donatur Teater Populer.
Teguh, karena keterbatasan modal, mengajak pekerja-pekerja film terbilang masih ijo di ranah sinematografi, seperti Tantra Suryadi sebagai juru kamera dan Benny Benhardi menjadi penata artistik. Dia pun mempercayakan Herry Priyonggo untuk menangani pembuatan lukisan poster film perdananya.
Soal kenekatan membuat film, Teguh mengaku terinspirasi dari sang guru di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Usmar Ismail. Dari sang guru, Teguh belajar menangkap realitas menjadi sajian sinema. Dia terusik karena film di masa itu terlampau prematur dan berniat membebaskan diri dari pengaruh Hollywood.
“Film-film Hollywood saya enggak begitu suka, karena banyak gagasannya membohongi saya. Saya enggak percaya ada orang rambutnya tak pernah kena angin, misalnya,” imbuh Teguh Karya.
Dia lantas mencari literatur tentang tehnik sinematografi, kemudian tanya kiri-kanan seperti kepada Asrul Sani dan Djajakusuma. “Karena tak pernah punya pengalaman teknis di film, meski saya tahu teori, dan punya sense of dramatic art, namun dalam pelaksanaannya saya lupa segalanya, kapan mesti bilang action, mesti cut,” ungkapnya.
Melalui film, Teguh dan ‘anak-anak’ Teater Populer merangkak memiliki penghasilan layak, meski Wajah Seorang Laki-Laki merugi dan mendapat kritik pedas karena gambarnya terlalu gelap.
Pada film selanjutnya, terutama Badai Pasti Berlalu tahun 1977 menuai sukses besar dan melambungkan nama Teguh dan tentu saja ‘anak-anak’ Teater Populer. Bahkan, masing-masing dari terutama ‘De Rodis” seperti Slamet Rahardjo (pemain), Eros Djarot (penata musik), George Kamarullah (juru kamera), dan Asriel Nasrun (asisten Teguh Karya) dan lainnya mendapat bonus kalung emas berbandul 10 gram dengan grafir nama masing-masing. (*)
Baca juga artikel terkait Teguh Karya:
SEJARAH HARI INI: Sineas Kawakan Teguh Karya Lahir
Diskusi "Setelah Teguh Karya", Peringati 80 Tahun Lahirnya Sutradara Teguh Karya
Teguh Karya Kritik Film Indonesia Tak Berangkat Dari Realitas!