BBM di SPBU Swasta Langka, DPR Kritik Arah Kebijakan Energi Nasional.

Jumat, 19 September 2025 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terjadi di SPBU. Kelangkaan BBM telah berlangsung sejak Agustus 2025 di sejumlah SPBU swasta.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan pengelola SPBU swasta, seperti Shell dan BP-AKR, telah mendapat tambahan kuota impor BBM pada 2025.

Ketua DPP PKS Bidang Energi, Lingkungan Hidup, dan Perubahan Iklim, Agus Ismail menilai, insiden kosongnya BBM di SPBU swasta bukan sekali dua kali terjadi. Pola ini berulang, karena pada awal 2025 gejala serupa juga terjadi.

"Artinya, ada masalah struktural yang belum diatasi,” tegas Agus Ismail dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta dikutip Jumat (19/9).

Baca juga:

Kuota BBM SPBU Swasta Sudah Lebihi Kuota, Pemerintah Diklaim Sudah Benar Atasi Kelangkaan

Kelangkaan BBM non-subsidi bukan sekadar isu teknis, melainkan alarm bagi arah kebijakan energi nasional.

"Menjawab lonjakan permintaan hanya dengan menambah kuota tanpa memperbaiki sistem berarti mengulangi krisis yang sama setiap tahun," tegasnya.

Ia menilai lonjakan permintaan di SPBU swasta adalah sinyal bahwa publik mencari alternatif.

"Reputasi Pertamina yang sempat tercoreng isu kualitas BBM hingga tata kelola, mendorong sebagian konsumen beralih," jelasnya.

Ia mengkritisi pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang meminta SPBU swasta berkolaborasi dengan Pertamina. Himbauan itu justru mempertegas dominasi tunggal.

“Alih-alih mendorong kompetisi sehat, kebijakan ini justru mempersempit ruang gerak swasta,” jelasnya.

Agus menyoroti aturan impor yang hanya diberlakukan enam bulan sekali sejak Februari 2025.

“Kebijakan ini, justru menambah beban administratif dan ketidakpastian bagi pelaku usaha,” papar dia.

Dampaknya, masyarakat kembali kesulitan membeli BBM non-subsidi setiap periode tertentu.

“Masyarakat akan terus menanggung akibatnya, antrean panjang, harga lebih mahal, hingga kepanikan energi yang berulang,” ungkap Agus Ismail.

Pemerintah sebaiknya lebih progresif dengan membuka opsi joint procurement antara Pertamina dan swasta.

Joint procurement adalah sebuah metode pembelian barang atau jasa di mana dua atau lebih organisasi atau pembeli sepakat untuk melakukan pembelian secara bersamaan guna mendapatkan harga yang lebih baik dan kondisi yang lebih menguntungkan

“Sehingga kualitas, biaya, dan risiko bisa dibagi tanpa mengorbankan persaingan sehat,” tambahnya.

Ia mendesak agar Pemerintah segera menuntaskan pembahasan RUU Migas yang sudah 12 tahun tertunda. Sebab, UU Migas diperlukan demi kedaulatan nasional, mengurangi ketergantungan impor, dan memastikan regulasi yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.

“Hal ini berbeda dengan UU Migas 2001 yang cenderung liberal,” pungkas Agus Ismail.

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan