Menyadari Fenomena 'Genderless Fashion' di Indonesia
Dokumenter ‘The Loudest Scream in Fashion’ mengangkat tentang genderless fashion. (Veronica Johanna Boedinto)
ISTILAH genderless fashion kembali meluap di permukaan ketika penyanyi Harry Styles tampil dalam sampul majalah Vogue Amerika Serikat edisi Desember 2020. Kala itu, Styles mengenakan gaun dari rancangan Harris Reed, desainer asal Inggris dan Amerika yang mengklaim dirinya sebagai no-biner.
Harry Styles yang saat itu muncul dengan balutan gaun biru panjang dan blazer Gucci. Adapun balutan setelan oversized hitam yang dipadu dengan rok tulle. Hal ini juga memberikan Styles sebagai pria pertama yang tampil solo dalam sejarah 128 tahun majalah fesyen tersebut. Bahkan, belum pernah ada pula pria yang menggunakan rok saat berpose di sampul majalah Vogue.
Baca Juga:
“Pakaian adalah sesuatu yang menyenangkan untuk bereksperimen. Saat kamu tak menghiraukan ‘pakaian ini untuk pria atau pakaian ini untuk wanita’. Kamu seperti menghilangkan batasan dan membuka arena baru untuk bermain,” tegas Harry Styles.
Film dokumenter ‘The Loudest Scream in Fashion’ sendiri coba memotret istilah genderless fashion dengan menghadirkan beberapa narasumber kompeten dalam bidangnya. Fenomena genderless fashion sendiri pun mulai diadaptasi oleh beberapa desainer fesyen di Indonesia, seperti Ican Harem dan Manda Selena (Pinky Gurl) yang coba memasukan unsur eksperimental secara jujur tanpa melihat gender ini dan itu.
“Bagiku fesyen itu seperti perangkat yang bisa mendefinisikan identitas itu sendiri. Kalau kita mengedepankan busana yang tidak memiliki gender tertentu ia akan berdiri sendiri dan menjadi politik identitas. Sama dengan kenyamanan tersendiri ketika ia mau bergaya dengan gender apapun itu akan menjadi artistik,” ungkap Ican Harem.
Baca juga:
Gaya Genderless hingga Feminin ala Desainer Korea Selatan
Sementara itu, Pakar Mode Sonny Muchlison mengungkapkan bahwa fesyen merupakan ungkapan dari apa yang dikenakan dan harus memiliki apa yang dinamakan kepercayaan diri.
“Untuk memberanikan menggunakan ini sebetulnya butuh confident, dan confident ini dibangun dari orang ke orang tapi terkadang orang ini bergantung pada komunitas yang ada. Jadi yang membuat orang membuat stigma bahwa genderless fashion lekat dengan LGBTQ padahal tak sepenuh seperti itu,” lanjut Sonny.
Selain itu, Pakar Gender Gusti Nur Cahya Aryani menuturkan fenomena genderless fashion memasuki Indonesia baru pada tiga pada lima tahun ke belakang. Jadi bila menjawab pertanyaan apakah hal ini sudah diterima oleh masyarakat Indonesia, Gusti menjawab.
“Kalau ditanya seperti itu mungkin jawabannya akan terkesan seperti tidak. Namun sekali lagi, tidak itu bukan murni ‘tidak’ tapi lebih kepada tidak tahu. jadi selama istilah itu belum familiar jadi belum teruji, kecuali kalau sudah tersosialisasikan dan muncul gerakan tidak maka sudah pasti tidak diterima. Tapi bila mengingat keterbukaan sekarang ya, setidaknya untuk di generasi muda diterima dengan cukup baik,” tutup Aryani. (far)
Baca juga:
Bagikan
Berita Terkait
Menenun Cerita Lintas Budaya: Kolaborasi Artistik Raja Rani dan Linying
JF3 Fashion Festival Bawa Industri Mode Indonesia ke Kancah Global, akan Tampil di Busan Fashion Week 2025
Dari Sneakers Langka hingga Vinyl Kolektibel, Cek 3 Zona Paling Hits di USS 2025
USS 2025 Resmi Dibuka: Lebih Megah, Lebih 'Kalcer', dan Penuh Kolaborasi Epik
USS 2025 Kembali Digelar di JICC, Lebih dari 300 Brand Bakal Ikut Berpartisipasi!
Ekspresi Duka Laut dalam Koleksi ‘Larung’ dari Sejauh Mata Memandang di Jakarta Fashion Week 2026
Jakarta Fashion Week 2026: Merayakan Warisan Gaya dan Regenerasi Desainer Tanah Air
Dari Musik ke Mode: Silampukau Hadirkan Kolaborasi Artistik dengan Kasatmata
Kisah Nenek Moyang Maluku dalam Kain Batik Tulis Maluku Tengah di Trade Expo Indonesia
Semangat Segar di Tahun Baru, Converse Sambut Komunitas Converse All Star Class of ’26 dan Katalis Musim ini, Harra.