Ternyata, toko yang Pocel maksud tidak seperti toko biasanya. Malahan, bisa dibilang bukan toko. Seperti tempat pijat dan bukan juga tempat pijat biasa.
Sulastri agak kaget dan memegang erat tangan Pocel seraya berkata, "Mas, katamu aku akan kerja menjadi pelayan toko? Kok, ini malah seperti tempat pijat, Mas? Aku, 'kan, ndak bisa pijit. Bagaimana ini, Mas? Kita pulang saja, yuk?"
Agar Sulastri tidak berubah panik. Pocel menjawab dengan santai dan tenangnya, "Ya, ini, 'kan juga toko, Su. Jangan khawatir. Aku juga sudah janji, ndak akan meninggalkanmu dalam kondisi dan situasi apa pun. Aku hanya ingin kamu kerja agar bisa menutupi segala kebutuhanmu, Su. Percayalah."
Karena telanjur memiliki rasa kepada Pocel. Sulastri pun mengangguk saja.
Usai meyakinkan, Pocel kemudian mempertemukan Sulastri dengan kawan yang sudah ia bicarakan sebelumnya. Berkenalan, sesudahnya mereka langsung asyik tukar cerita, seperti tidak ada kejahatan busuk di dalamnya. Larut dalam percakapan antara Sulastri, Pocel, dan Kirman, si bos pemilik tempat panti pijat. Pembahasan sudah mulai membicarakan upah. Kecil, tapi tidak terlalu kecil juga upah yang Sulastri dapat dari pijat.
"Kalau dari jasa pijat, per orangnya mungkin, kamu hanya mendapat tujuh puluh lima perak saja, Su," ucap Kirman sambil mengangkat kedua kaki di meja kerjanya. Seperti seorang bos, meskipun memang dia adalah seorang bos.
"Oh. Tujuh puluh lima perak ya, Mas Kir? Hmmmm. Ya, sudah. Lumayan untuk biaya hidup selama sebulan bersama Urip," jawab Sulastri dengan muka menunduk.
Sambil mengepulkan asap cerutu ke atas, Kirman berkata, "Ehem.. Tapi begini, Su... Hmmmm. Mungkin kamu bisa jelaskan, Cel," ucap Kirman.
Pocel diam sesaat sambil menatap mata Kirman, kemudian berkata, "Saya ajak Sulastri ke depan dulu yo, Mas. He he he."
Sambil tersenyum Kirman membalas, "Yo wis. Bicarakan dulu. Santai sajalah. Anggap, saya seperti saudara kalian sendiri."
Di saat yang sama, Sulastri memasang raut wajah kebingungan lantaran tidak mengerti apa yang sedang mereka rahasiakan. Sulastri pun berkata, "Ini mau ke mana lagi, Mas? Aku benar-benar ndak mengerti."
"Tenang saja. Ayo, kita ke depan dulu. Aku beritahu kamu sesuatu," ajak Pocel kepada Sulastri.
Sambil menyalakan sebatang rokok, Pocel menggandeng tangan Sulastri, bergegas meninggalkan Kirman yang sedang santai di bangku kebanggaannya sebagai pemilik panti pijat. Sulastri melangkah begitu indahnya. Badan, pinggul yang sungguh menggoda membuat Kirman mencuat gairah.
Ucapnya dalam hati, "Benar apa yang dikatakan Pocel. Sulastri itu sungguh menawan. Hmmmm, sebelum menjualmu, aku pasti akan menidurimu segera, Su. Ha ha ha."
Sesampainya di depan pintu ruangan Kirman, Pocel menatap Sulastri sambil berkata, "Jadi, begini, Su, " Pocel mendeham. "Mencari pekerjaan di zaman sekarang, susah. Kamu pun juga tahu akan hal itu. Dan sekarang, gajian di tempat ini, menurutku ndak terlalu besar. Tapi, bisa menjadi besar kalau kamu mau melakukan sesuatu yang lebih. Hi hi hi."
Masih dengan rasa heran, Sulastri berkata, "Lha, 'kan, aku sudah bilang sama Mas Pocel tentang susahnya mencari pekerjaan. Lalu, dari mas Pocel juga sekarang aku di sini. Mendapat gaji yang besar dan aku harus melakukan sesuatu yang lebih? Maksud jenengan, apa?"
Pocel pun meneteskan keringat. Pertanda bahwa ada rasa takut untuk menyampaikan niat busuknya kepada Sulastri.
"Lho, kok Mas diam. Mas," ujar Sulastri.
Untuk menghilangkan rasa grogi, Pocel menghisap rokoknya dalam-dalam. Kemudian berkata, "Begini, Su. Kalau kamu mau mendapatkan banyak uang di sini, satu hal yang harus kamu lakukan. Yaitu, membuat puas para pelanggan dengan cara .... Hmmmmm... Bersetubuh dengan mereka. Bagaimana?"