Meski sebenarnya, agama pun melarang keras membicarakan aib orang lain. Apalagi dengan yang belum tentu akan kebenarannya. Karena dari ucapan warga kelak, bisa timbul fitnah. Dan sekalipun benar, warga sudah mendapatkan virus yang bernama ghibah.
Naudzubillah, lidah memang lebih tajam dari pedang, seperti yang orang tua dulu katakan.
"Sulastri, sebelumnya maaf.. Bukan maksud untuk menghakimi atau menggurui. Kamu, 'kan, menetap di sini baru. Dan kami, warga sekitar, juga tahu kalau kamu ini janda. Kalau boleh tahu, siapa lelaki yang suka berkunjung ke rumahmu hingga malam hari? Saya dan tentunya warga sudah mulai resah dan takut terjadi apa-apa. Maaf, ya, sebelumnya," ucap Mbah Sukiro yang tidak memikirkan perasaan Sulastri saat melemparkan pertanyaan tersebut.
Jawab Sulastri yang matanya mulai berkaca-kaca, "Ya ampun, Mbah. Maaf juga sebelumnya. Karena hal ini, baik Mbah maupun warga sudah banyak yang salah duga. Lelaki yang Mbah maksud adalah Mas Pocel. Dia tidak lain teman sekolahku dulu. Dari dia juga aku ditawari bekerja di salah satu tempat kawannya. Saya tahu betul, maksud dan tujuan Mas Pocel datang tidak lain sekadar menghibur dan menyemangati saya."
Dengan muka santai, Mbah Sukiro berkata, "Iya .. meskipun teman, tapi, 'kan, ada batasnya juga, Su. Memang kamu mau, nanti warga mengambil tindakan tegas? Ingat, Su! Di sini, kami sangat kental akan ruang spiritual terhadap Tuhan Yang Mahakuasa. Berzina dosanya besar!"
Sulastri sebenarnya juga menyadari kesalahannya, sehingga kemudian ia berkata, "Iya, Mbah, aku tahu. Memang di sini aku salah karena membiarkan seorang lelaki yang bukan suami, lenggang kangkung seenaknya. Maaf, Mbah. Lantas, saya harus berbuat apa?"
"Ya, kamu harus mengambil tindakan kepada kawanmu itu. Siapa tadi namanya...? Pecol, ya?" kata Mbah Sukiro.
Jawab Sulastri, "Namanya Pocel, Mbah. Bukan Pecol. Baik, Mbah. Maaf."
Merasa diri tertekan, pada keesokan hari Sulastri menegur Pocel yang seperti biasa berkunjung ke rumahnya dengan berkata, "Mas, maaf ya sebelumnya. Begini, kemarin aku ditegur oleh salah seorang pemuka agama di sini lantaran kunjungan Mas yang setiap hari. Sang sesepuh takut kalau nanti warga punya pikiran yang aneh-aneh. Meskipun sudah mulai banyak yang berpikiran aneh terhadap kehadiran Mas di rumahku."
Ada rasa takut pada diri Pocel. Takut diarak keliling desa dan juga takut dibakar. Karena Pocel tahu, hukum masyarakat sejatinya lebih rimba daripada hukum Tuhan, apalagi negara. Kejam lantaran mereka bisa langsung menghakimi tiada ampun tanpa ada bukti yang jelas. Berbeda dengan Tuhan, yang selalu menjadi Hakim yang adil untuk makhluk ciptaan-Nya.
Pocel berkata, "Aduh, yo wis. Aku akan batasi kunjunganku. Dan adapun tujuanku datang hari ini adalah ingin mengajakmu langsung ke tempat kerja. Kawanku sudah tidak sabar ingin melihatmu. Karena jauh beberapa hari yang lalu, aku sering membicarakanmu kepada sang kawan. He he he."
"Wah! Aku siap, Mas! Aduh.. Mas ngomong apa saja? Aku jadi malu. Hi hi hi. Ya sudah, aku rapi-rapi dulu, ya,sambil melihat anakku dulu, Urip," ucap Sulastri.