Ditawari bekerja sebagai pelayan toko. Ya! Pelayan toko. Bukannya senang hati Sulastri tatkala mendengar tawaran pekerjaan itu. Justru keraguan atas semua kebaikan Pocel. Heran sudah pasti. Bimbang karena Sulastri sadar betul akan pendidikannya yang sangat singkat.
Namun, karena segala keindahan rupa Sulastri, Pocel terus meyakinkan pekerjaan yang ditawarkan ke Sulastri.
Tak ayal, Sulastri pun menerima semuanya, meski masih ada janggal ia rasa. "Baiklah, Mas! Aku terima tawaranmu. Meskipun aku sendiri heran, kenapa Mas Pocel mau mempekerjakan seorang wanita tamatan Sekolah Menengah Pertama di sebuah toko," ucap Sulastri.
Dengan tenang Pocel menjawab, "Kawanku yang punya toko, ndak selalu melihat orang dari ijazahnya. Ada hal yang lebih penting, yaitu niat dia untuk bekerja. Di sini, aku melihat hidupmu sendiri dengan memiliki seorang anak. Tentunya kamu membutuhkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhan Urip, tho?"
Sambil tersenyum Sulastri menjawab, "Oh.. Benar, Mas. Yang paling utama adalah niat. Sekali lagi betul kamu, Mas. Biaya hidup semakin besar. Kalau aku ndak kerja, bagaimana nasib masa depan Urip."
"Lha iya, tho. Kamu pastinya ndak mau melihat Urip sengsara, 'kan? He he he. Yo wis. pekan depan, kamu langsung kerja. Nanti aku yang antar. Bagaimana?" tawar Pocel sambil mengembuskan asap rokok bekas tadi pagi.
Jawab Sulastri dengan semangat menggelora, "Siap, Mas! Hi hi hi."
Kebaikan Pocel tidak sampai di situ, selama tujuh hari penantian. Ia sering membawakan makanan untuk Sulastri dan anak semata wayangnya yang masih sangat kecil itu. Sampai-sampai, Sulastri pun terasa nyaman dan bahagia acapkali di dekat Pocel, bisa dikatakan seperti jatuh rasa. Di lain sisi, kedekatan Sulastri dengan Pocel pun sudah mulai ramai jadi bahan perbincangan warga sekitar, negatif saja sudah jadinya.