Peristiwa tersebut tidak membuat gerakan mahasiswa berhenti, justru semakin menggila. Di Jakarta, mahasiswa dari berbagai kampus yang tergabung dalam Forum Kota (FORKOT) dan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) menduduki Gedung DPR/MPR. Para mahasiswa memasuki gedung wakil rakyat itu pada tanggal 19 Mei sampai 21 Mei 1998, sampai Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri.
Garda menyaksikan pemimpin diktator yang berkuasa selama 32 tahun itu lengser dari singgasana kekuasaan di balik jeruji besi penjara. ”Saya melihat detik reformasi, detik lengsernya Suharto itu dari TV, dari balik jeruji di sel dewasa Tangerang. Ketika saya diisolasi, dipindahkan dari Rutan Salemba karena mengakibatkan adanya pemberontakan di dalam rutan,” kenang Garda.
Sementara di LP Cipinang, 21 Mei 1998, mengutip buku Anak-anak Revolusi sekitar pukul 08.30 WIB' Budiman Sudjatmiko dan aktivis PRD lainnya mengelilingi radio. Telinga mereka saat itu diarahkan pada radio yang menyiarkan bahwa tak lama lagi akan ada siaran langsung dari Istana Merdeka. Berita tersebut mengundang rasa ingin tahu mereka. Dengan kejadian-kejadian terakhir, kepala mereka dipenuhi tanda tanya besar.
“Yang kami harapkan saat itu, pidato pengunduran diri sang diktator. Namun bisa saja terjadi sebaliknya, Suharto menyatakan darurat militer nasional,” kata Budiman.
Tak lama kemudian Suharto berbicara dengan sangat lambat. Sang diktator pun menyatakan pengunduran dirinya. Hal itu membuat mereka bersorak-sorak keras. Suasana ruangan penjara menjadi gegap gempita. Setiap orang bersukacita, bersalaman, dan berangkulan. Tak sampai setengah jam kemudian, beberapa tapol mendatangi pintu sel kami yang terbuka. Kemudian, sipir penjara dan Kepala LP datang memberikan ucapan selamat kepada para aktivis PRD.
Pada awal 1998,dari ribuan narapidana di LP Cipinang, dua puluh tujuh orang di antaranya adalah tahanan politik (tapol). Sebelas dari dua puluh tujuh orang itu adalah tapol dari PRD. Yang lainnya adalah Tapol G30S (Bungkus, Asep Suryaman, Marsudi dan Kol. Latief) yang sudah mendekam di sana sekitar tiga puluh tahun, kasus Lampung (Nur Hidayat, Darsono dan Fauzi), gerilyawan kemerdekaan Tmor Timur (Alexandre Xanana Gusmao, Fernando Araujo dan Joao Freitas da Camara), Organisasi Papua Merdeka (Jacob Rambiak), aktivis Pijar (Nuku Sulaiman), aktivis Aliansi Jurnalis Indonesia (Andi Syahputra), Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (Muchtar Pakpahan) dan kasus penghinaan presiden (Sri Bintang Pamungkas).
“Siang itu kami mengumpulkan semua napol, dan narapidana umum ada di blok kami berpesta. Beberapa ekor bebek peliharaan Kolonel Latief disembelih dan dimasak. Kami lalu bagi-bagikan daging-daging bebeknya pada para tahanan lainnya. Suasananya seperti Hari Raya Idul Adha. Pesta itu berlanjut hingga sore harinya,” kata Budiman dinukil dari buku Anak-anak Revolusi.