Beberapa hari setelah Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, pengacara aktivis PRD datang membawa kabar gembira. Pengacara mengabarkan bahwa Gus Dur akan membebaskan seluruh tahanan politik. Pada tanggal 10 Desember, Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan Perundang-Undangan datang ke penjara Cipinang.
Malam itu, di ruangan Kepala LP Cipinang, Yusril mengucapkan selamat kepada Budiman dan kawan-kawan sambil menyerahkan sepucuk surat yang ditandatangani langsung oleh Gus Dur. Di bagian atasnya tertulis kata-kata yang telah dinantikan para tapol PRD sejak lama: "Amnesti".
Atas amnesti Presiden Gus Dur pada 10 Desember 1999, Garda, Budiman dan seluruh napol politik Orde Baru akhirnya menghirup udara bebas. Hari itu bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional. "10 Desember 1999 kami mendapat amnesti, sehingga segala akibat hukumnya dianggap nggak ada," kata Garda.
Namun Garda menyayangkan amnesti tersebut tidak diikuti dengan klarifikasi bahwa pernah ada penculikan, penyiksaan dan penghilangan paksa terhadap para aktivis yang melawan rezim Orde Baru. "Sayang sekali bahwa amnesti ini tidak diikuti dengan klarifikasi bahwa kami pernah diculik ataupun disekap tidak berdasar hukum. Kami mengalami penyiksaan dan kami adalah sejumlah orang muda ketika itu yang mengalami wujud ketidakadilan selama orde baru yang juga harusnya diungkap," ujarnya.
Andaikan reformasi tidak bergulir, andaikan Suharto tetap menangkangi kursi “orang nomor satu di Indonesia”, andaikan Abdurahman Wahid (Gus Dur) tidak terpilih menjadi Presiden setelah reformasi tuntas meruntuhkan Orde Baru. Barangkali Garda Sembiring, masih mendekam di sel isolasi, Lembaga Permasyarakatan (LP) Tangerang. Dan Budiman Sudjatmiko masih harus menghabiskan waktunya selama tiga belas tahun di LP Cipinang.
Beberapa saat menjelang jatuhnya rezim orba, sejumlah aktivis PRD dan beberapa organ pergerakan lain diculik. Menurut Munir, dari Kontras, ada dua puluh tiga orang aktivis telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Tak lama setetah Soeharto berhenti, sembilan orang aktivis dilepaskan oleh para penculiknya. Sejumlah pemimpin PRD, seperti Nezar Patria, Andi Arief, Faisol Reza, Aan Rusdiyanto dan Raharjo Waluyo Jati, termasuk di antara Sembilan orang itu. Sementara sebagian lainnya, beberapa di antaranya juga pemimpin PRD, tak ada kabarnya hingga sekarang.
"Peristiwa penculikan seyogyanya diselidiki secara patut oleh negara, karena peristiwanya itu jelas terjadi dan rezimnya juga sudah lampau. Sebagai bagian dari pembelajaran bagi masyarakat agar generasi sekarang, orang orang muda sekarang, pelajar mengetahui bahwa di masa lalu negara kita pernah mengalami masa-masa kelam, masa-masa kediktatoran," tegas Garda.
Garda pun mengingatkan negara mempunyai hutang masa lalu yang harus dilunaskan. Selain penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, sederet kasus pelanggaran HAM masa lalu, antara lain peristiwa 1965; peristiwa Talangsari 1989; kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti; Semanggi I dan II hingga kini masih gelap.
"Dan pendapat saya selama peristiwa pelanggaran HAM masa orba ini tidak dijernihkan, tidak diungkap melalui sebuah komisi, bangsa kita akan terus menerus disandera oleh masa lalunya dan sewaktu-waktu isu-isu tentang komunisme, tentang negara ini digoyang oleh kekuatan-kekuatan yang distigmatisasi, ini akan terus berulang. Jadi masyarakat kita mudah sekali dibenturkan satu sama lain," pungkas Garda. (Pon)