Ernest menambahkan, penggunaan kata pribumi sering ditemui semasa peristiwa Mei 1998 dan juga semasa kampanye Pilkada DKI 2017 lalu. Menurutnya, kata Pribumi kerap digunakan pada masa-masa krusial dalam politik untuk menciptakan tensi.
"Presiden Habibie bahkan akhirnya mengeluarkan Instruksi Presiden RI No 26 Tahun 1998 untuk “Menghentikan penggunaan istilah Pribumi dan Non-pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan," ujarnya dalam siaran pers yang diterima MerahPutih.com, Selasa (17/10). PSI Jakarta, sambung dia, sebagai partai yang mengusung toleransi di wilayah ibukota negara, menggarisbawahi ketidakpantasan Anies Baswedan sebagai kepala daerah yang baru dilantik dalam menggunakan istilah pribumi.
"Sejarah Indonesia memperlihatkan, bahwa labelisasi pribumi dilakukan oleh Belanda dengan tujuan membeda-bedakan perilaku dan hak di antara warga yang hidup dan tinggal di Indonesia. Di bangku Sekolah Dasar, kita mengenal hal ini sebagai devide et impera, atau praktek politik pecah belah. Belanda membedakan warga Indonesia menjadi Golongan Eropa, Timur Asing, dan Pribumi," tegas Ernest.
Ernest menyayangkan, seorang yang dikenal sebagai salah satu intelektual, tokoh pluralis dan cinta keberagaman, Anies Baswedan melontarkan kata-kata warisan kolonial dalam pidatonya.