Sekejap kemudian, para rato-rato datang membuat forum musyawarah untuk membicarakan persiapan pelaksanaan Wulla Poddu. Pada kesempatan ini dilakukan upacara pemujaan (noba) dengan menyembelih sejumlah ayam milik kabisu-kabisu yang terlibat. Usus masing-masing ayam diperiksa, jika bentuknya bagus maka kabisu yang bersangkutan akan mendapat panen yang bagus pula.
Setelah itu, dilakukan pula ritual pemotongan pohon pelindung dari jenis tertentu yang harus memiliki delapan tumpuk ranting. Pohon ini agak susah dicari, biasanya di hutan-hutan yang ada di sekitar kampung. Setelah ditemukan, harus dipotong saat itu juga lalu digotong ke kampung untuk ditanam di dekat Natara Poddu. Pohon ini dipercaya akan memberi perlindungan dan kemakmuran bagi warga selama satu tahun penuh.
"Karena ditanam tanpa akar pohon ini tentu akan mengering dan daun-daunnya bakal berguguran. Proses alamiah yang biasa saja tapi bagi warga kampung dipandang sebagai suatu indikasi," tulis Dupa bewa dalam penelitiannya yang berjudul 'Makna Tuturan Wulla Poddu pada Masyarakat Sumba Barat Kecamatan Loli Desa Tana Rara'.
Setelah ritual ini, masuklah ke acara selanjutnya yakni musyawarah kedua. Dalam forum ini yang dibahas adalah memutuskan apakah ritual-ritual Wulla Poddu berikutnya akan dilaksanakan di dalam rumah (kabu kuta) ataukah di halaman. Kegiatan ini dilaksanakan sembari makan Ubi.
Acara bersih-bersih kedua juga dilaksanakan. Yakni, Toba Wanno sebuah ritual yang bertujuan membersihkan kampung dan warganya dari penguasaan roh-roh jahat. Menurut rato bagian atas tambur aslinya terbuat dari kulit manusia, namun karena telah rusak dimakan usia maka sekarang ini diganti dengan kulit kerbau persembahan.
Di malam hari saat anak-anak berkumpul di acara natara podu, mereka juga melakukan nyanyian. Ritual yang disebut Woleka Lakawa berlangsung setiap malam hingga tiba ritual selanjutnya.