Dalam perjalanan menuju mulut gua, ada pagar berwarna hijau sekaligus bongkahan batu-batu besar. Menurut sang pemandu Mario, Gua Batu Cermin ini pertama kali mendapat perhatian dunia pada 1951 berkat penelitian arkeolog sekaligus misionaris asal Belanda, Theodore Verhoven.
“Jutaan tahun lalu, posisi gua ini ada di bawah laut. Dulu, sempat ada pergeseran atau patahan lempeng bumi, lalu terjadi gempa, sehingga ada beberapa wilayah di Pulau Flores yang tenggelam. Ada beberapa juga yang bahkan naik ke permukaan, salah satunya adalah gua ini,” jelas Mario.
Untuk memasuki gua utama, pengunjung harus menaiki tangga yang sudah disemen. Terdapat gua pembuka dengan jalur yang relatif luas dan mudah untuk dilalui. Beberapa pohon terlihat merambat dengan akar yang cukup besar menempel di dinding gua.
Baca juga berita lainnya dalam artikel: Tak Kalah dengan di Bandung, Bukit Bintang di Lombok Tawarkan Pemandangan Indah dari Ketinggian
Tepat di bibir masuk gua utama, para pengunjung diminta untuk memakai helm dan menyalakan penerangan di seluler masing-masing. Dari sepuluh pengunjung, hanya dua yang diberikan senter oleh Mario.
Kondisi di berapa bagian gua cukup sulit. Pengunjung harus berhati-hati ketika berjalan karena di beberapa titik terdapat lorong yang hanya bisa dilalui oleh satu orang saja.
“Panjang gua kurang lebih 15-20 meter, tapi ada beberapa titik di mana kita harus berjalan merunduk karena posisi stalaktit dan stalagmit cukup rendah. Nanti di dalam ada ruangan besar yang tidak ada cahaya, tapi di bagian yang disebut ‘cermin’ ada cahaya,” terang Mario.
Ruang tengah gua bisa dipenuhi sekitar 15 orang. Mario mengarahkan cahaya senter ke langit gua. Ia menyoroti fosil penyu dengan posisi terbalik. Ada segenggam bongkahan yang hilang pada tempurung fosil yang ternyata sengaja diambil oleh peneliti pertama Verhoven untuk diteliti.