Bibir kampung itu pun, sudah dikepung polisi. Kawat berduri dililit menghadang beberapa akses jalan, agar kelompok orang-orang dari kampung yang disangkakan maling sapi, kambing, atau motor itu menyerang tidak bisa menerobos masuk ke dalam kampung.

Sementara, di dalam kampung sendiri sudah seperti kampung mati. Senyap, mencekam. Tak satu pun ada orang beraktivitas, seperti sebelum seorang yang dituduh maling itu tewas dengan luka memar, bacok, dan tubuh hangus terbakar. Kecuali, laki-laki dewasa yang berseliweran, siaga dengan tombak, parang, golok, badik, linggis, dan arit—siap menyambut serangan orang-orang yang selama ini dianggapnya sebagai hama perusak kampung.

Manula, anak kecil, dan para wanita sudah diungsikan di kampung-kampung sebelah—kampung yang tidak dihuni oleh orang-orang yang disangkakan sebagai maling dan begal. Sebagian diboyong ke masjid besar, dan pesantren. Maksudnya, agar mereka tetap aman, dan—jika tiba-tiba kampung itu diserang—tidak mungkin akan merambah ke dalam masjid atau pesantren, karena itu adalah rumah Tuhan.

Entah kenapa, semua menjadi semakin ruwet. Tiba-tiba ribuan orang dari kampung yang disangkakan sebagai kampung para bencoleng ini bisa merangsek ke dalam kampung. Mereka membabi buta. Barang-barang yang berada di dalam rumah yang kosong ditinggal mengungsi raib dijarah. Televisi, magic jar, baju, sarung, dan semua barang yang bisa ditenteng, digasak, sebelum rumah-rumah itu dirusak, dan dibakar. Sisa makanan yang tak sempat dibawa mengungsi, dilahap habis, rakus masuk ke dalam perut mereka.

“Aparat seperti macan ompong! Diam, tidak berkutik! Buktinya, pagar betis mereka diterobos! Kampung Kami dibiarkan ludes, dibakar oleh orang-orang dari kampung para bencoleng!” Keluh salah seorang warga kampung geram dengan bibir setengah bergetar.

“Benar! Kami juga tidak habis pikir, kenapa bisa seperti itu. Padahal, aparat-aparat itu membawa bedil,” sahut warga lainnya, dengan raut muka redup, dan putus asa.

Namun, apa yang diungkapkan oleh warga kampung yang sudah setengah ludes itu, tetap saja akan menjadi cerita, dan hanya akan mewariskan peristiwa-peristiwa yang sama di kemudian hari. Buktinya, ketika hukum sudah tidak mampu merambah, mereka menganggap pengadilan masa dinilai mujarab untuk mencegah. Entah benar entah salah, tetapi, buat mereka, yang pasti hanya butuh hidup aman, tanpa seorang pun mengusik serta mengganggu.

Lanjut Baca lagi