Secara garis besar, PP ini mewajibkan pembayaran royalti oleh setiap orang yang menggunakan lagu dan/atau musik secara komersial maupun untuk layanan publik.
Dilansir dari Salinan PP 56/2021 pada pasal 3 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN.”
LMKN yang dimaksud adalah lembaga bantu pemerintah nonAPBN yang dibentuk Menteri berdasarkan undang-undang mengenai Hak Cipta. LMKN berwenang menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.
Saat ini, Lembanga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sudah terbentuk dan sudah banyak Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang bediri. LMK terbagi menjadi dua, yaitu LMK Hak Cipta dan LMK Hak Terkait.
Lembaga Manajemen Kolektif Hak Cipta, seperti Wahana Musik Indonesia (WAMI) dan Karya Cipta Indonesia (KCI), yang menghimpun dan mendistribusikan royalti pencipta atau pemegang hak cipta dari karya yang didaftarkan.
Sementara Lembaga Manajemen Kolektif Hak Terkait, seperti Anugerah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI), Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) dan PRISINDO, yang menghimpun dan mendistribusikan royalti pelaku pertunjukan seperti musisi dan produser dari karya yang didaftarkan.
Perlu digarisbawahi untuk menerima royalti tersebut, para pemusik hingga pelaku pertunjukan harus menjadi anggota salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk mendapatkan hak ekonomi, termasuk royalti. Insan musik yang memiliki peran ganda sebagai pencipta lagu dan penampil bisa tergabung dalam dua LMK, yaitu LMK Hak Cipta dan LMK Hak Terkait.
“Sudah saatnya musisi sadar untuk menghargai karyanya sendiri, mencari hak-haknya di tempat lain selain perfoming right mereka yang sebenarnya bisa mendatangkan pundi-pundi rezeki dari mereka sendiri," tambah Uga.
Seperti yang tertulis pada PP 56/2021 Pasal 1 Ayat 3, royalti yang dimaksud adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu Ciptaan atau produk Hak Terkait yang diterima oleh Pencipta atau pemiliki Hak Terkait.
Bentuk layanan publik yang bersifat komersial sebagaimana dimaksud pada PP 56/2021 pasal 3 ayat 2 meliputi: seminar dan konferensi komersial, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, diskotik, konser musik, pesawat udara, busa, kereta api, kapal laut, pameran, bazar, bioskop, kemudian nada tunggu telepon.
Tidak hanya itu, bank, kantor, pertokoan, pusat rekreasi, hotel, usaha karaoke, Lembaga penyiaran televisi hingga Lembaga penyiaran radio juga dikenakan pembagian royalti.
Baca juga:
Lindungi Hak Cipta Musisi, Pemerintah Bakal Bangun Pusat Data Lagu dan Musik