SENGKETA HUTANG ONLINE

Sementara itu, maraknya penggunaan Pay Later juga menjadi perhatian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut Dewan Pengurus YLKI Sulastri, kurangnya literasi keuangan digital membuat masyarakat mudah terperdaya penyedia pinjaman online.

Paylater SENGKETA HUTANG ONLINE
Ilustrasi dompet digital (mohamed_hassan/pixabay)

Secara prosedural dan legal formal, lanjutnya, penyedia jasa pinjaman online terutama fintech ilegal sukar dilacak keberadaannya. "Sementara kalo model platform seperti ini, semua dilakukan secara online, jadi kita tidak tahu siapa penanggungjawab perusahaan dan dimana lokasinya. Itu bisa membuat kita kesulitan kalau ada masalah,” jelas Sulastri.Di sisi lain, pihak penyedia Pay Later akan mengimingi-imingi penawaran lainnya usai pengguna membayar tagihan.

Biasanya, menurut Sulastri, perusahaan punya database konsumen memiliki track record peminjaman baik. Konsumen yang membayarkan tepat waktu merupakan asset bagi mereka. “Untuk konsumen semacam ini, mereka akan berusaha memberikan penawaran yang menggiurkan,” ucap Sulastri.

Permasalahan di ranah Fintech semakin hari semakin bertambah besar. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memperkirakan terdapat sekira 3.000 aduan nasabah korban fintech bermasalah.

Dari berbagai pengaduan, menurut Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari sperti dikutip tempo.co, berisi persoalan seputar penagihan dilakukan bukan hanya ke peminjam, namun ke kontak milik peminjam.

Begitu pula penyebaran data pribadi juga dilakukan, nan mengakibatkan peminjam mengalami ancaman, fitnah, penipuan, dan pelecehan seksual. Penyebaran foto dan informasi pinjaman disebar oleh penagih ke seluruh kontak milik peminjam.

BACA JUGA: Aplikasi Keuangan Ini Dapat Mengatur Keuangan Kamu Agar Tidak Bengkak

Menurut Jeanny, dari total aduan ke LBH Jakarta hingga akhir 2018, 25 persen melibatkan perusahaan fintech pinjaman online terdaftar resmi di OJK.

Sementara pada Januari 2019, persentase perusahaan fintech pinjaman online terdaftar berubah menjadi 50 persen. Namun, pihaknya tidak merinci apakah fintech tersebut juga melibatkan perusahan penyedia Pay Later.

Dengan berbagai permasalahan fitech nan merugikan banyak masyarakat, Sulastri meminta pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat.h. “Sebagai lembaga negara yang berotoritas penuh akan hal ini kami harap OJK mampu memberi edukasi pada masyarakat,” jelasnya.

Menjawab permasalahan tersebut perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih kepada MerahPutih.com menuturkan bahwa OJK terus berupaya untuk melindungi hak-hak konsumen. “Untuk melindungi konsumen, kami membuat sejumlah regulasi yang harus dipatuhi oleh pelaku industri jasa keuangan seperti tercantum dalam POJK Nomor 1/POJK.07/2013,” urai Sekar.

BACA JUGA: OJK Beberkan Ciri-Ciri Perusahaan Fintech Ilegal

Dirinya juga menjelaskan, dalam proses penyelenggaraannya, peer to peer (P2P) lending yang terdaftar di OJK harus memenuhi aturan dan ketentuan di POJK 77/POJK.01/2016 tentang penyelenggara jasa layanan pinjam meminjam berbasis teknologi.

“Kami telah membatasi akses data fintech legal hanya seputar microphone, lokasi dan kamera. Jika mereka terbukti melakukan pelanggaran akses data selain ketiga hal tersebut maka izinnya akan dicabut,” paparnya.

Dalam hal perlindungan konsumen, POJK 77/POJK.01/2016 mengedepankan transparansi atau keterbukaan informasi oleh penyelenggara terkait biaya dan risiko yang harus diterapkan platform penyelenggara.

“Dalam upaya perlindungan berlapis, kami mewajibkan penyelenggara fintech legal untuk terdaftar pada asosiasi yang ditunjuk oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Kalau bukan angota AFPI, kami akan mencabut izinnya,” tegasnya.

Sementara upaya untuk mengedukasi masyarakat juga dilakukan misalnya dengan sosialisasi berupa workshop dan seminar. “Kami juga melakukan workshop ke kampus-kampus untuk mengedukasi generasi muda,” tukasnya.

Lantas bagaimana agar tak terperosok dalam jebakan Pay Later?