Catatan

Vonis Meiliana di Bawah Bayang-bayang Siapa?

Thomas KukuhThomas Kukuh - Sabtu, 25 Agustus 2018
Vonis Meiliana di Bawah Bayang-bayang Siapa?

Lexyndo Hakim. (Ist for MerahPutih)

Ukuran:
14
Audio:

PADA prinsipnya, penegakan hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan manapun, termasuk pada tekanan massa sekalipun.

Putusan terhadap Meiliana, terdakwa dalam kasus penistaan agama, menjadi kasus yang kesekian kalinya, dan dapat disinyalir selalu dibawah bayang-bayang tekanan massa.

Kehadiran beberapa oknum maupun ormas-ormas tertentu, patut diduga menjadi faktor tekanan bagi Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan.

Putusan itu dibacakan pada Selasa, 21/8/2018 di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara. Meiliana, divonis satu tahun enam bulan penjara, karena menurut Majelis Hakim, Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 KUHP.

Pasal 156 KUHP berbunyi, "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500".

Dilihat dari substansi kasusnya yang banyak diberitakan media, Meiliana, pada tahun 2016, awalnya hanya curhat mengenai suara adzan, kemudian meminta agar suara adzan tersebut dikurangi. Akibatnya, Meiliana dipersekusi. Ancaman, termasuk ditujukan kepada keluarganya. Rumah dirusak, dan dibakar.

Meiliana, bukan yang pertama kali terjerat delik penistaan agama. Lia Eden, Ahmadiyah, Syiah, Eks Gafatar, Ahok, dan lain-lain, adalah sejumlah contoh, betapa "atas nama agama", hukum harus ditegakkan. Padahal, kita tidak pernah tahu, kebenaran tunggal macam apa yang harus kita percayai.

Itulah sebabnya, sebagaimana jaminan konstitusi, setiap orang bebas memeluk agama dan kepercayaanya masing-masing.

Dalam konteks kasus Meiliana, sulit dinalar, perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan macam apa yang dilakukan dengan curhat dan meminta suara adzan diperkecil. Mungkinkah putusan itu dijatuhkan karena tekanan massa atau demi tegaknya hukum dan keadilan?

Kekuasaan Kehakiman

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengatur: negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara berdasar kekuasaan (machsstaat). Penegasan ketentuan konstitusi ini bermakna, bahwa segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.

Salah satu prinsip penting negara hukum (the rule of law) adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Melalui Pasal 3 UU No. 20/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, diatur bahwa, ayat (1) dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

Ayat (2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945.

Ayat (3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan “ kemandirian peradilan ” adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Sulit diukur memang, terutama tekanan dalam bentuk psikis bagi kekuasaan kehakiman.

Tetapi rangkaian peristiwa, termasuk terhadap korban/pelaku dapat digunakan sebagai indikator, untuk mengidentifikasi adanya tekanan dalam bentuk psikis.

Perspektif Penegak(an) Hukum

Putusan terhadap Meiliana, selain diduga dipengaruhi oleh faktor tekanan massa perspektif Majelis Hakim juga sangat menentukan. Hakim sering dijuluki sebagai wakil Tuhan. Julukan yang masih tersisa dari Teori Kedaulatan Tuhan (Theocratische Theorien) yang berkembang pada abad ke 5 hingga 16 di Eropa.

Meski dijuluki demikian, bukan berarti setiap putusan pengadilan, mengandung kebenaran mutlak.

Banyak kasus, dimana hakim terpaksa duduk di kursi " pesakitan " karena melakukan "jual beli putusan". Pihak yang seharusnya menang, dikalahkan karena adanya intervensi kekuasaan. Atau, putusan dijatuhkan semata-mata karena perspektif subyektif.

Misalnya, hakim menilai bahwa orang yang dihadapkan di muka pengadilan, telah menghina suku; agama; atau latar belakang si hakim. Hakim tidak lagi menggunakan ukuran-ukuran obyektif dan rasional, apakah yang perbuatan yang bersangkutan melanggar hukum atau tidak. Patut dimintai pertanggungjawaban hukum, sehingga dipidana atau tidak.

Oleh karena itu, demi tegaknya prinsip negara hukum di Indonesia, maka segala bentuk campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, hendaknya dilarang tegas. Pada saat yang sama, kekuasaan kehakiman seharusnya dijalankan oleh manusia-manusia yang setia pada prinsip, menegakkan hukum dan keadilan untuk manusia.

Untuk kasus Meiliana sendiri, semoga masyarakat dapat sedikit lagi bersabar, mari kita jadi saksi bersama-sama, " keadilan " seperti apakah yang akan hadir pada saat putusan ditingkat Banding nanti?

-Sebuah catatan dan respon spontan sebagai Anak Bangsa atas polemik terhadap putusan kasus Meiliana.

Oleh:

Lexyndo Hakim, SH, MH, MKN.

Advokat & Konsultan HKI

#Meiliana
Bagikan
Ditulis Oleh

Thomas Kukuh

Berita Terkait

Bagikan