Tangan-Tangan Tak Kasat Mata di Balik Kerja The History of Java


2 Pasukan Inggris di Pulau Karimata (William Thorn, Memoir of The Conquest of Java)
Deru suara tembakan penghormatan bagi seorang setingkat Gubernur kolonial mengantar kapal Ganges menambat di pelabuhan Falmouth, Cornwall, Inggris, 11 Juli 1816.
Seorang lelaki menderita demam tinggi dan sakit kepala parah dipapah berpindah kapal kecil menuju daratan. Tak ada sambutan meriah penuh patriotik bagi mantan Letnan Gubernur Jawa.
“Pada 1816 Ganges membawanya kembali ke Inggris sebagai seorang laki-laki yang telah hancur, dan kepulangannya tidak diiringi sambutan seorang pahlawan,” tulis Tim Hannigan, Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa.
Dia memutuskan bermalam di penginapan dermaga. Sementara, di lain tempat, pejabat bea cukai garuk-garuk kepala menghitung bagasi berisi tiga puluh ton berupa barang antik, naskah, patung-patung Hindu, dua perangkat gamelan, dan harta serta pernak-pernik Jawa hasil menjarah keraton Yogyakarta.
Semalam berlalu. Si lelaki sakit, Thomas Stamford Raffles, melanjutkan perjalanan menuju kediamannya di Berner Street, London. Di sana, Raffles memiliki cukup waktu luang untuk mengerjakan cita-cita nan tertunda, menulis sejarah Jawa.
Raffles, menurut John Bastin dalam Introduction The History of Java (1978), pada surat tertuju kemenakannya, Elton Hammond tahun 1813, sempat mengungkapkan niat untuk menulis buku tentang Jawa, namun beban kerja sebagai Letnan Gubernur Jawa menunda niat tersebut, dan usaha paling maksimal tak lain dengan mengumpulkan bahan-bahan.
Pada musim gugur 1816, Raffles berhasil mengeluarkan seluruh barang antik di tempat penyimpanan bea cukai tanpa kewajiban membayar.
“Ruang belakang rumah kami seketika menjadi museum,” ungkap Raffles kepada sepupunya Thomas dinukil Victoria Glendinning, pada Raffles and The Golden Opportunity.
Raffles mulai mengompilasi seluruh bahan di meja kerjanya, sembari menaruh air raksa di sisinya untuk meredakan flu berat. Terapi beracun itu akrab disapa ‘Salivation’.
“Dia melewati sebagian besar pagi dan malam untuk membaca dan menerjemahkan dengan kecepatan luar biasa dan memahami legenda yang mereka ceritakan, terutama Brata-Yudha,” tulis Sophia Hull, istri kedua Raffles pada Memoir of The Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, Particularly in The Government of Java 1811-1816, and of Bencoolen and Its Dependencies , 1817-1824.
Raffles tak mungkin mengerjakan terjemahan Bharata-Yudha seorang diri. Menurut Tim Hannigan pada Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa, Raffles bahkan tak bisa berbicara bahasa Jawa sehari-hari, seturut catatan keraton Yogyakarta mengenai kesulitan berkomunikasi saat pertemuan resmi keraton, apalagi membaca, memahami, dan menerjemahkan kesusastraan kuno bahasa tersebut.
“Semua penulis biografi Raffles, sejak 1890-an hingga 1990-an, mempercayai tulisan Sophia, tanpa mempertanyakan, menganggap bukunya sebagai arsip definitif dan juga percaya segala sesuatu dikatakan Raffles,” ungkap Tim Hanningan.
Bharata-Yudha pada jilid pertama The History of Java, menurut Hannigan, mungkin dinukil dari terjemahan Melayu dengan bantuan seorang pembaca, atau dikerjakan sebagai terjemahan ganda oleh juru tulis orang Jawa dari teks asli atau salah satu salinan bahasa Jawa modern.
Paling tidak, Raffles membawa sepasang juru tulis Melayu, Ranadipura seorang pemuda Jawa, dan budak anak Papua ketika kembali ke Inggris. Raffles pun tak menulis karyanya sedari nol di atas meja kerja kediamannya, Berner Street, London.
Selagi bertugas di Jawa, Raffles dibantu beragam pihak dengan berbagai latar belakang memasok bahan baku karyanya. Penerjemah pribumi bekerja keras menerjemahkan naskah jarahan dan salinan prasasti (absklat), kemudian secara rutin dikirim kepada Panembahan Sumenep, Madura, ahli bahasa kuna dan sejarah Jawa, untuk diteliti lebih lanjut.
Tak terhitung peran Natakusuma, Paku Alam I, selain membantu Raffles memahami peta politik di keraton Jawa, dia pun turut menerjemahkan beberapa teks Jawa dan Pegon. Di Buitenzorg (Bogor), Kiai Adipati Suria Adimenggala, bupati Semarang, serta kedua putranya, Raden Saleh (bukan pelukis) dan Raden Sukur, berkemampuan bahasa Inggris mumpuni lantaran pernah mencicipi studi di Kalkuta (1814-1815), membantu menerjemahkan babad.
Kumpulan naskah-naskah Melayu, Jawa, dan Arab koleksi orientalis Belanda serta hasil penelitian mereka tentang koleksi tersebut, terutama manuskrip JA van Middelkoop, menjadi tulang punggung cerita sejarah Jawa untuk The History of Java.
Raffles juga memaanfaatkan hasil investigasi, etsa, deskripsi HC Cornelius bersama para asisten mengenai reruntuhan candi Borobudur, Sewu, dan Prambanan.
Laporan investigasi awal Cornelius mengenai Prambanan, dan masih diperkaya dengan catatan investigasi lanjutan Kepala Korps Zeni Pasukan Inggris, Kolonel Colin Mackenzie pun ikut menyumbang keluasan detil The History of Java.
Mackenzie bersama Johan Knops, kerabatnya berkebangsaan Belanda, dan juru gambar Inggris, John Newman disusul kemudian salah satu Kapten Resimen Benggala, George Baker, memberi sumbangan etsa dan catatan menarik Candi dan patung Lara Jonggrang.
Di lain sisi, Dr. Thomas Horsfield, seorang naturlis Amerika, menggelontorkan bahan-bahan fantastis tentang studi ‘materia medica’ berupa bahan-bahan obat, botani, geologi, dan lebih jauh studi natural history serta zoologi kepada Raffles.
Dari berlimpah sumber, Raffles kemudian mengompilasi seluruhnya di meja kerjanya dengan bantuan sepupunya, Thomas. Pada tahun baru 1817, Raffles mengirim lembaran hasil kerjanya untuk dicetak tiap pagi hari, serta mengoreksi naskah hingga larut malam.
Pada 29 Mei 1817, Raffles berhasil membuat publikasi The History of Java di London. Berjumlah tiga jilid, berupa jilid I dan II berisi teks, sedangkan jilid III memuat ilustrasi monokrom dan warna.
Raffles melalui karyanya mendaku sebagai orang paling tahu mengenai Jawa. “Saya percaya tidak ada seorang pun memiliki informasi berkait Jawa melebihi diri saya sendiri”.
Dia pun mengaku memuaskan hasrat intelektual selama di Jawa agar mendapat pengakuan sebagai Bhatara, gelar para raja-raja Majapahit. Raffles menyampaikan hal tersebut pada surat kepada William Marsden, menjelang masa akhir tinggalnya di Jawa.
“Orang-orang Belanda menuduh kami konyol: dan satu-satunya jawaban yang aku berikan kepada mereka adalah bahwa aku berambisi mendapat gelar Bitara (Bhatara) nantinya,” tulis Raffles sebagaimana dikutip Tim Hannigan. (*)