Cerita Ketika Ibu Kota Pindah Dari Pesisir Menuju Pedalaman Batavia!


Istana Daendels. (Foto: kemenkeu.go.id)
GUBERNUR Jenderal HW Daendels (1808-1811) berkorespondensi dengan Dewan Hindia (Raad van Indie) pada 26 Februari 1809. Isinya, memuat pengajuan pembangunan tempat tinggal baru, pusat pemerintahan, dan pusat pertahanan militer.
Daendels memandang Batavia Lama (Oud Batavia, kawasan Kota Tua Jakarta) sudah tak layak huni lantaran terlampau lembab sehingga memicu wabah kolera dengan jumlah kematian sangat tinggi. Terlebih, kawasan itu juga sangat rapuh sebagai pusat pertahanan militer.
'Sang Marsekal Guntur', julukan Daendels, seturut BHM Vlekke pada Nusantara: A History of Indonesia, menghendaki pemindahan ibukota beberapa mil ke daerah pedalaman, ke sebuah kota pinggiran bernama Weltevreden atau Nieuw Batavia. Di sana, ia melirik sehampar tanah luas di sebelah timur perkemahan militer (Parade Plaats, kini Lapangan Banteng) untuk dibangun Rumah Besar (Groote Huis) atau Istana Putih (Het Witte Huis).

Demi mewujudkan kehendaknya, Daendels menugaskan JC Schultze, seorang arsitek berpangkat kolonel. Schultze merancang Istana Putih bergaya Empire, mengikuti tren arsitektur dan seni di Perancis.
Istana Putih dibangun di tengah kondisi keuangan pemerintah carut-marut. Putar akal, Daendels, seturut Devina S Raditya, pada The White House of Weltevreden: Ministry of Finance Building, menjual beberapa bidang tanah dan dua pasar, lalu memerintahkan para pekerja lokal untuk meruntuhkan sebagian besar bangunan dan tembok kota lama untuk dijadikan material istana baru.
Bangunan istana, lanjut Devina S Raditya, dirancang dengan struktur bangunan dua lantai. Terdiri dari satu bangunan utama berukuran 74 x 27 m, diapit dua bangunan sayap kanan-kiri, masing-masing berukuran 24 x 26 m. Bangunan utama berfungsi sebagai tempat tinggal gubernur, sementara bangunan sayap menjadi kantor, ruang tamu, kandang kuda, dan garasi kereta. Di antara bangunan utama dan sayap, terdapat gerbang dan tangga menuju lantai dua.
Pengerjaan berlangsung lambat lantaran Daendels disibukan dengan pembangunan lain, seperti Jalan Raya Pos, dan menghadapi serang Inggris. Sang Marsekal bahkan tak bisa memandang megahnya Istana Putih mewujud lantaran ditarik pulang Napoleon mengampu jabatan baru sebagai komandan di Modlin, Polandia.

Penggantinya, JW Janssens, sama sekali tak acuh terhadap pembangunan karena wara-wiri diserbu pasukan Inggris hingga akhirnya menemui kekalahan. Meski kekuasaan Hindia beralih ke tangan Inggris di bawah pimpinan Thomas Stamford Raffles (1811-1816), pengerjaan Istana Putih pun tetap tak tersentuh.
Pembangunan kembali menggeliat saat Hindia beralih dikuasai Belanda, terutama pada masa Gubernur Jenderal Du Bus de Ghisignies (1826 – 1830). Du Bus menunjuk Insinyur J Tromp selaku arsitek. Fokus pengerjaan Tromp berkutat pada pengerjaan konstruksi dinding luar dan pemasangan atap, serta gerbang penghubung.
"Tromp menciptakan banyak perubahan signifikan terhadap fungsi bangunan, pada awalnya sebagai tempat tinggal gubernur jenderal, menjadi kantor pemerintahan," tulis Devina.
Istana Putih "Daendels", karena tampil megah mencolok dengan cat serbaputih, akhirnya selesai pada 1827. Tercatat, Raad van Indie (Dewan Hindia) melakukan pertemuan resmi perdana di istana itu pada 25 Januari 1828.
Seiring dengan kehadiran Istana Putih, kawasan Weltevreden kemudian berkembang pesat. Pada 1828, Du Bus membangunan monumen Waterloo berupa pilar besar dengan patung singa di atasnya, di Parade Plaats, untuk peringatan kekalahan Napoleon pada perang Waterloo 1815. Lapangan itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan Waterlooplein.
Waterlooplein berubah menjadi pusat interaksi sosial dan rekreasi. Saban minggu sore masyarakat Weltevreden bisa menikmati parade musik militer. Mereka juga bisa menunggang kuda atau kereta.

Sebelum Istana Putih rampung, telah ada bangunan lain di Weltevreden, seperti Loji Tarekat Mason Bebas "Der Ster in het Oorsten" bergaya neoklasik (kini Gedung Kimia Farma) pada 1820, berlokasi di tenggara Waterlooplein. Setahun berselang, hadir tempat pertunjukan teater bernama Stads Schouwburg (kini, Gedung Kesenian Jakarta).
Pada 1829, turut hadir bangunan Gereja Katolik di sebelah barat Waterlooplein, kelak bernama Gereja Katedral. Lanjut setahun berikutnya juga muncul Gereja Willemskerk (Immanuel). Demi mengakomodasi hiburan, dansa-dansi, dan pergaulan kelas atas khususnya bagi para militer, dibangun Concordia Military Societiet pada 1836, tak jauh dari Istana Putih.
Istana Putih tetap berfungsi menjadi kantor pemerintahan, sementara tempat tinggal gubernur jenderal beralih di bekas rumah JA van Braam di Rijswijk, kelak menjadi Istana Negara. Sementara, di kemudian hari, berabad mendatang, Istana Putih menjelma menjadi Kantor Kementrian Keuangan, Jalan Dr Wahidin Raya Nomor 1, Jakarta Pusat. Hingga kini kawasan nan dahulu bernama Rijswijk dan Weltevreden menjadi lokasi sentral di ibukota, sebagai pusat pemerintahan dan ibukota negara. Akankah berubah? (*)
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Harga Tiket Pekan Raya Jakarta Dikeluhkan Mahal, Ini Yang Bakal Dilakukan Rano Karno

Desain Kota Masa Depan Jakarta Bisa Dilihat di Wahana Immersive Room PRJ 2025

DPRD Gelar Paripurna Hari Minggu, Gubernur Pramono Bilang Begini di Forum

Maudy Koesnaedi Melawak Gaya Betawi Hadirkan Sketsa Kesehariaan Warga
Pramono Pamer Program yang Berjalan 100 Hari Kerja sebagai Gubernur

Malam Puncak HUT Jakarta, KAI Commuter Tambah Operasional Sampai Jam 1 Dini Hari

HUT Ke-498 Jakarta, Gubernur Pramono Tegaskan Upaya Masuk Top 50 Kota Dunia

Diawali Upacara di Silang Monas, Rangkaian HUT Kota Jakarta Ditutup Hiburan di Lapangan Banteng Hari Ini

HUT Ke-498 Jakarta, MRT Perpanjang Operasional hingga Dini Hari

Dishub DKI Sediakan 6 Lokasi Parkir untuk Pengunjung PRJ 2025
