Tak Hanya Visual, Komik Punya Beragam Bahasa


Pameran Dunia Komik digelar di Galeri Nasional, 2-18 April 2018. (foto: galeri nasional)
KETIKA mendengar kata komik, yang terlintas di benak Anda mungkin ialah visualisasi suatu cerita yang terdiri dari panel-panel (blok adegan) dan membentuk satu kesatuan cerita yang utuh. Anggapan tersebut kurang tepat. Selain visual, komik juga memiliki unsur bahasa di dalamnya. Hal tersebut disebabkan komik terdiri dari gambar dan teks. Teks yang terdapat di komik biasanya terdapat di balon kata. Gambar dan teks tersebut kemudian dikombinasikan menjadi sebuah cerita.
Bahasa komik memiliki variasi dan karakteristik bermacam-macam. Ada yang menggunakan bahasa komik Jepang, bahasa komik klasik dari Amerika atau gaya clear line khas Eropa. Bahasa komik tentunya hampir serupa dengan bahasa yang dijadikan percakapan sehari-hari. Kita bisa mengetahui jenis bahasa komik dari gaya bahasanya.

Bahasa komik Jepang dapat dilihat dari komik manga. Penokohan yang biasa muncul di komik Jepang biasanya merupakan gadis-gadis manis dan naif. Genre yang diangkat pun mayoritas ialah genre shoujo manga (komik untuk remaja perempuan).
"Pasar manga secara khusus menumbuhkan kelompok pembaca komik baru, yakni para pembaca perempuan," terang kurator Hikmat Darmawan.
Sementara itu komik Amerika menampilkan komik realis klasik atau kartun klasik. Komik Amerika berkaitan dengan kondisi sosial-politik waktu itu. Kala itu, Amerika tengah menghadapi kegentingan Perang Dunia. Komik genre humor cukup berkembang di komik Amerika saat itu.

"Komik humor bisa mengurangi ketegangan dan frustasi masyarakat menghadapi ancaman perang," jelas kurator seni rupa Jim Supangkat.
Di masa itu, karakter super hero seperti Superman, Batman, dan Wonder Woman juga bermunculan. Para tokoh super hero dianggap menjadi simbol harapan.
"Lawan-lawan mereka selalu digambarkan gila kuasa. Tokoh musuhnya bisa disamakan dengan tokoh sentral Perang Dunia, Adolf Hitler," beber Jim.
Adapun komik Eropa menonjolkan clear line. Seniman-seniman Eropa di dekade 50-an
melahirkan komik-komik yang punya pesona di semua aspeknya seperti cerita, gambar, warna, pemilihan kertas, teknik cetak, dan, desain komik.

Salah satu komik yang cukup monumental di masa itu ialah Petualangan Asterix karya Rene Goscinny dan Albert Uderzo. Komik yang lahir pada 1959 itu menampilkan sejarah nenek-moyang masyarakat Jerman dan Prancis pada zaman Romawi yang memperolok-olok Julius Cesar, diktator Romawi pada 49-44 SM. Selain itu, komik Eropa yang mengangkat sejarah dan kultur Prancis ialah Petualangan Tin-Tin.
Ketiga jenis bahasa komik tersebut turut menginspirasi para komikus Indonesia. Setiap komikus berkiblat pada bahasa komik tertentu. Ada yang terinspirasi dari bahasa komik Jepang, komik Amerika ataupun komik Eropa. Penerapan ketiga bahasa komik oleh komikus Indonesia dapat dilihat di pameran Dunia Komik yang diadakan di Galeri Nasional pada 2 hingga 18 April 2018.
Sebanyak 129 karya anak bangsa ditampilkan di Galeri Nasional. Hikmat mengungkapkan bahwa karya-karya yang ditampilkan di Galeri Nasional mewakili bahasa komik Jepang, Amerika, dan Eropa.
"Selain kesegaragn ide, kami memilih karya-karya tersebut karena penguasaan bahasa visual komik dan seberapa jauhkah jelajah bahasa komiknya," tukas Hikmat.(Avi)